Segala Bentuk Asumsi

529 27 0
                                    

"Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.

***

Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan.

Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku.

Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.

Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.

Hingga pada suatu malam, tidur nyenyakku mendadak terganggu oleh sebuah suara gumaman. Mataku perlahan terbuka sembari mencari sumber suara. Kulihat Yessi sedang mengigau. Raut wajahnya menggambarkan kecemasan, menandakan ia sedang bermimpi buruk.

Aku tak ingin ambil pusing. Kutarik selimutku dan kembali melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.

Malam berikutnya terulang kembali. Yessi kembali mengigau dalam tidurnya. Karena penasaran,  kudekati ia.

"Tolong ... tolong ...," racaunya.

Aku bermaksud ingin membangunkannya. Namun, sebentar kemudian, ia terlihat kembali nyenyak. Aku lantas kembali ke sofa dan  melanjutkan tidurku lagi.

Mulai sejak itu, aku jadi kepikiran. Kenapa Yessi jadi sering mengigau? Mimpi buruk apa dia sampai-sampai selalu meracau?

Diam-diam aku sering mengamatinya. Kudapati Yessi sering melamun dengan wajah murung. Apa mungkin dia seperti itu lantaran orang yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab?

Tapi siapa yang menghamilinya? Aku bahkan tak pernah menanyakannya. Jangankan bertanya, mengobrol pun kami tidak pernah. Pernikahan kami beku bagai di kutub utara. Kalau pun berbicara, maka hanya seperlunya saja.

Malam selanjutnya pun begitu lagi.

"Pi ... Yessi bukan wanita nakal ... tolong percaya, Pi ...." Kurang lebih seperti itulah dia mengigau.

Kutepuk berulang kali pipinya agar ia terbangun.

"Yessi, bangun," panggilku.

Kedua matanya terbuka. Baju tidurnya sudah basah oleh keringat.

"Ada apa? Kamu mimpi buruk?" tanyaku.

Ia tidak menjawab. Aku bergegas mengambilkan segelas air putih dan kuberikan kepadanya.

Yessi minum seperti orang kehausan.

"Tidurlah. Ubah posisinya jangan seperti tadi," saranku.

***
"Enak, Bi. Ini siapa yang masak?" Aku bertanya pada bibi di rumah ketika menyantap hidangan yang kali ini terasa berbeda di lidahku. Kebetulan siang ini aku bertemu klien di luar dan kusempatkan pulang ke rumah meski hanya sekadar makan siang. Sekalian ingin menengok kondisi Yessi tentunya.

"Non, Yessi, Mas," bisiknya.

"Yessi masak?" tanyaku tercengang. Pandai juga dia memasak. Kukira karena anak orang kaya dia takut sama dapur, ternyata dugaanku salah.

"Sssttt. Jangan keras-keras, Mas." Bibi meletakkan telunjuk di bibirnya.

"Nyonya yang nyuruh," lanjutnya lagi sembari berbisik.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang