Perjanjian

627 21 0
                                    


Tanganku panas dingin sambil duduk menunggu di ruang tengah dengan penuh ketegangan. Kesannya seperti menunggu salah satu keluarga yang sedang menjalani operasi. Namun, di dalam sana adalah keluarga Mas Wira yang sedang disidang oleh papi.

Beberapa kali terdengar gebrakan meja. Aku takut jika terjadi keributan dan mereka berkelahi. Mami yang duduk di sebelahku kemudian meremas tanganku, seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Sementara Kak Yessa berdiri sambil menyilangkan tangannya, tubuhnya disandarkannya di sofa.

Tak berapa lama, terdengar bunyi bel pintu. Itu pasti Bang Yossi. Barusan dia menelepon dan memberi tahu kalau akan datang ke sini. Bi Rum kemudian berlari tergopoh-gopoh guna membukakan pintunya.

Bang Yossi kemudian menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Ia datang sendirian tanpa membawa anak dan istrinya.

"Gimana?" tanyanya.

"Masih disidang." Kak Yessa yang menjawab sembari menunjuk ke ruang kerja papi menggunakan dagunya. 

Bang Yossi kemudian beralih memperhatikanku dari atas hingga ke bawah.

"Kamu baik-baik saja kan, Dek?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Baik, Bang. Yessi gak pa-pa."

"Syukurlah. Abang sangat khawatir denger berita yang gak enak tentang kamu. Apalagi sebelumnya kamu ngasih tau abang tentang teror itu," sahut abangku.

"Teror. Teror apa, Yossi?" Mami bertanya sembari mengerutkan dahi. Kak Yessa pun mendekati kami ikut menimbrung.

Aku dan Bang Yossi saling melempar pandang. Kemudian abangku menjawab, 

"Nanti saja, Mi. Selesai sidang Yossi akan ceritakan semuanya. Yang penting selesaikan dulu masalah ini satu per satu. Mami dan semuanya harus tau apa yang sebenarnya terjadi pada Yessi."

Kulihat wajah Mami dan Kak Yessa diliputi rasa penasaran yang amat sangat, namun keduanya memilih untuk diam. 

Pintu ruang kerja papi kemudian terbuka.

"Kalian semua masuk ke dalam!" titah papi.

Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, kami berempat lantas bangkit dan berjalan masuk ke dalam ruangan. 

Keluarga Mas Wira kompak menundukkan wajahnya sangat dalam. Mama mertuaku terlihat menangis sesenggukan. Beberapa kali tangannya mengusap cairan yang meleleh di mata serta hidungnya menggunakan tissu.

Kami lalu duduk berdampingan di sofa yang lain. Sementara keluarga Mas Wira duduk di sofa satunya lagi berhadapan dengan kami. 

"Yessi! Kali ini Papi mau buat perjanjian untuk keluarga suami kamu. Kalau sampai mereka berbuat semena-mena lagi terhadap kamu, Papi tidak akan segan-segan menjebloskan mereka ke dalam penjara! Jika suatu saat kamu mendapatkan hal yang tidak menyenangkan dari mereka, segera lapor ke Papi. Kamu mengerti??!" 

Suara papi terdengar sangat tegas. Kepalaku lantas mengangguk. 

"Mengerti, Pi."

"Kamu jangan takut. Lihat, keluarga kamu semua belain kamu. Kakakmu, Yessa, sudah menghajar suamimu sampai babak belur, kan? Abangmu, datang jauh-jauh ke sini demi mendukung adiknya. Jadi kamu jangan takut. Kami semua ada di pihak kamu," ujar papi meyakinkanku.

Aku mengangguk lagi.

"Ada yang mau kamu sampaikan untuk keluarga suami kamu, Yessi? Terutama kepada mama mertua kamu mungkin, karena dia yang selama ini habis-habisan menyiksa kamu selama tinggal di sana, kan?" Papi bertanya sembari menyusun kertas di tangannya.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang