Terbongkar!

942 29 0
                                    

"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku di suatu pagi tatkala Mas Wira sedang mengancingkan kemejanya.

"Boleh. Tanya aja," sahutnya mempersilakan.

"Emm ... itu ... punggung Mas Wira bekas kena luka apa?" tanyaku hati-hati.

"Oh ... ini. Biasalah, akibat sok jagoan," jawabnya santai.

"Maksudnya?" Alisku bertaut.

Mas Wira tersenyum. "Kejadiannya sudah sangat lama. Sewaktu aku masih SMA. Sok-sok nyelametin cewek pas tawuran ya jadi gini lah."

"Oh. Trus keadaan ceweknya gimana?" tanyaku.

"Untungnya tidak apa-apa. Dia selamat, dan aku bersyukur sekali mendengarnya. Meski setelahnya, lukaku yang jadi dobel. Di belakang juga di depan." Mas Wira menunjuk dadanya sendiri.

Mungkin maksudnya hatinya juga turut merasakan kesakitan. Meski tak menanyakan apa penyebabnya, namun aku merasa jika Mas Wira sedang membicarakan wanita itu. Seorang wanita yang dicintainya sejak masih SMA. 

"Maksudnya, Mas menyelamatkan cewek yang Mas suka itu?" tanyaku seraya menelan ludah. Pahit.

Ia mengangguk. Jemariku meremas ujung dress yang kukenakan. Wajahku tertunduk. Ah, entah kenapa aku malah melontarkan pertanyaan yang jawabannya telah kuketahui. Akibatnya, hatikulah yang kini berkedut merasakan nyeri.

***

Kupikir, perubahan sikap mama terhadapku berlaku selamanya. Ternyata tidak. Mama kembali menunjukkan ketidak sukaannya terhadapku. Beliau kembali ke sikap awalnya padaku sepulangnya dari London. 

Aku yang sejak dulu menanggapi perubahannya dengan biasa saja, untungnya tidak terkejut. Hanya saja aku bingung, kenapa sikap mama mesti berubah-ubah terhadapku?

Seperti saat ini, ketika aku masih berada di dalam kamar, mama berteriak kencang memanggilku dari bawah.

"Yessi! turun kamu! bantuin Bik Inah masak. Ngapain kamu di kamar, ha? mau molor, ya? kalau masih mau makan tuh dibantuin beres-beres!"

Aku bergegas menyusun pakaian Mas Wira yang baru saja kuambil dari ruang setrikaan ke dalam lemari. Rima, salah satu asisten yang mendapatkan tugas menyetrika, tak sempat mengantarkan pakaian yang baru selesai disetrikanya ke kamarku lantaran mama keburu memanggilnya.

"Iya, Ma. Tunggu sebentar," sahutku agak berteriak dari kamar. Meskipun percuma saja, mama tak akan mendengarnya. Buktinya, beliau masih melengkingkan suaranya memanggilku. 

"Yessi!! ayo, cepat turun!" 

Aku buru-buru menutup lemari dan berjalan keluar kamar dengan tergopoh-gopoh. 

"Iya, Ma. Ini Yessi lagi turun," sahutku sambil berlari menuruni tangga. Masih terdengar gerutuan yang berasal dari mulutnya ketika melihatku berlari dengan tergopoh-gopoh.

Entah karena saking terburu-burunya, sehingga telapak kakiku tidak tepat menginjak anak tangga. Akibatnya, akupun terpeleset dan jatuh terjerembab di lantai dasar. Setelah sebelumnya tubuhku sempat menggelinding beberapa kali dari pertengahan tangga. Aku sangat syok sekali.

"Akhh!" pekikku tertahan seraya memegangi dahi yang menghantam lantai. Aku terjatuh dengan posisi tengkurap. Perlahan, aku lalu memosisikan tubuhku agar bisa  duduk dengan baik. Meskipun kepalaku diserang rasa pusing yang cukup hebat akibat efek bergulingan yang baru saja kualami.

"Non, Yessi!" Masih bisa kudengar suara Bik Inah yang memanggilku dengan nada panik.

Sementara aku masih sibuk memegangi pelipisku sembari memejamkan mata. Merasakan pusing pada kepala disertai rasa syok yang membuat dadaku berdegup cukup kencang.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang