10. Menutupi Kehamilan

597 24 0
                                    

Bibirku terus menyunggingkan senyum sembari berbaring di atas ranjang. Hatiku berbunga-bunga mendapati kenyataan bahwa Mas Wira ternyata terlalu peduli padaku. Menunggunya di atas ranjang adalah hal yang tepat kulakukan saat ini.

Hingga lelaki itu keluar dari kamar mandi, setelah selesai membersihkan diri. Sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan ketika akan mulai menyambangi alam mimpi.

Ekor mataku seakan tak ingin lepas darinya. Aku merasa diriku ini mulai tidak waras karenanya. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Ya, lebih dari malam-malam kemarin selama kami menikah. Bagaimanapun, aku ini wanita normal yang butuh kasih sayang dari seorang suami. Bukan, bukan berharap melakukan aktivitas seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Hanya ingin tidur di pelukannya seperti di hotel kemarin, itu saja.

Akan tetapi, hingga Mas Wira selesai memakai piyamanya, pria itu malah tak mendekatiku sama sekali. Ia memilih beranjak ke sofa yang kini telah beralih fungsi menjadi tempat tidurnya selama menikah denganku.

Mungkin karena harapanku yang terlalu besar. Sehingga ketika harapan itu tak terwujud, hanya kekecewaanlah yang kemudian aku dapatkan.

"Sudah ngantuk, Yessi?" Tiba-tiba Mas Wira bertanya, tepat ketika aku baru saja membalikkan badan memunggunginya.

Terpaksa, aku kembali membalikkan badan menghadapnya lagi.

"Hmm, iya, Mas. Ngantuk sekali rasanya," sahutku lalu berpura-pura menguap.

"Yang benar? tapi dari matanya seperti tidak ada tanda-tanda mengantuk? bukannya dari tadi kamu terus memperhatikanku, bahkan sejak aku keluar dari kamar mandi tadi?"

Aku gelagapan mendengar pernyataan dari Mas Wira. Dia tergelak melihatku.

"Kalau belum ngantuk duduk di sini. Temani aku mengobrol." Mas Wira menepuk space kosong di sebelahnya.

Mau tak mau, aku pun bangkit dan berjalan ke arah sofa, di mana suamiku itu sedang duduk.

"Senin besok kita ke psikiater," ucap Mas Wira yang seketika membuatku terkejut mendengar rencananya.

"Mau ngapain, Mas?" tanyaku.

"Tidak ada. Supaya kamu punya teman curhat," sahutnya yang semakin membuatku tak mengerti maksud dari kata-katanya.

Kemudian tangannya bergerak mengusap puncak kepalaku.

"Untuk sementara kita seperti ini dulu, ya? aku takut tidak bisa mengontrol diriku, karena aku tau, kamu belum siap," bisiknya di telingaku.

Aku nyaris merinding tatkala hembusan napasnya menerpa kulit wajahku.

"A-aku tidur dulu ya, Mas," kilahku cepat. Aku takut jika aku lah yang akhirnya tidak bisa mengontrol diriku.

Besok merupakan hari minggu. Jika tidak ada halangan, berarti lusa kami akan menemui psikiater.

***

Pagi ini, kami sekeluarga tengah sarapan bersama. Menikmati menu masakan Bi Inah selaku asisten rumah tangga yang dipercayakan memegang bagian dapur.

Meskipun ada Bi Inah, mama mertua tampaknya tak suka jika melihat tenagaku menganggur sedikit. Beliau selalu menyuruhku memasak. Kecuali sarapan, mama tak pernah menyuruhku. Tau kenapa? karena ada Mas Wira yang belum berangkat kerja.

Untungnya, rasa masakanku tidaklah buruk. Dulu, aku kerap kali memasak bersama mami. Jadi sedikit banyaknya aku paham mengenai tugas masak-memasak. Sampai sekarang Mas Wira tidak tahu jika menu yang sering dia santap adalah hasil dari masakanku.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang