Malam Keramat

665 19 0
                                    

"Mas, lepas!" tolakku sembari terus menekan dadanya. Entah kenapa aku merasa tidak suka diperlakukan seperti ini.

"Mas, tolong jangan begini. Apa maumu? bukankah kamu pernah bilang bahwa kamu paham jika aku belum siap melakukannya?" Aku terus berupaya mendorong tubuh kekarnya yang menindihku.

Bukannya beringsut pergi, Mas Wira justru bertindak semakin menggila. Ia kini mencumbuku. Kedua tanganku dinaikkannya keatas. Membuatku sangat ketakutan dan tubuhku gemetar hebat. Trauma itu datang lagi.

"Kamu sudah sembuh Yessi. Walau bagaimana pun aku ini lelaki normal," bisiknya disela cumbuannya.

Mas Wira menuntut haknya. Aku menggeleng pedih. Aku belum sembuh, Mas. Tidakkah kau bisa merasakan betapa gemetarnya tubuhku saat ini? Oh, Ya Tuhan, apakah kebanyakan lelaki seperti ini? hanya mementingkan egonya sendiri dan tak peduli dengan kondisi pasangannya sama sekali?

Akhirnya, malam keramat itu pun terjadi. Aku melaluinya dengan penuh kepasrahan di sela desahan napasnya yang terdengar menggebu. Perasaanku sungguh campur aduk antara trauma dan juga cemburu.

Hatiku masih merasakan sesuatu yang mengganjal begitu teringat kemesraan yang terjalin antara Priska dan suamiku. Serta beberapa hotel yang pernah dikunjungi oleh Mas Wira, membuatku hanya mampu menggigit bibir guna menyamarkan rasa sakit yang ditorehkan olehnya.

Air mataku menitik. Jemariku tanpa sadar meremas sprei kala pria di atasku ini berhasil menuntaskan hasratnya. Wajah tampannya tampak kemerahan, dihiasi dengan senyum kepuasan yang terkembang di bibirnya. Sangat berbanding terbalik denganku.

"Terimakasih," ucapnya lembut sembari mendaratkan kecupan di dahiku. Ciumannya itu turun ke bibir, kemudian melumatnya.

"Maafkan aku," ucapnya lagi ketika dilihatnya aku tak merespon apapun, dan hanya memalingkan wajah ke samping setelah ia melepas pagutannya.

Mas Wira menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Kemudian menghembuskan napasnya seperti orang frustasi.

Sementara aku turun dari ranjang sembari membelitkan selimut di tubuh polosku. Lalu berjalan menuju ke kamar mandi dan menumpahkan tangisku di sana.

Sakit sekali rasanya ketika dua kali harus mengalami luka yang sama. Mas Wira tak ubahnya seperti pria itu, sama-sama mengambil paksa milikku tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Hanya bedanya, status Mas Wira merupakan suamiku. Lelaki yang memang berhak atas diriku. Namun, jika caranya memaksa, bukankah ia sama saja dengan lelaki brengsek itu?

***
Pagi ini, aku tak menyapa Mas Wira sama sekali. Meskipun dia sesekali memancingku dengan beberapa pertanyaan, aku hanya cukup menjawabnya dengan 'ya' atau 'tidak'.

"Masih marah?" tanyanya.

Aku menggeleng sembari tanganku dengan cekatan memasangkan dasi di lehernya. Semarah apapun aku padanya, tak membuatku lupa akan tugasku.

"Maaf kalau caraku tadi malam salah. Aku benar-benar minta maaf," tambahnya lagi.

"Sudah selesai. Hati-hati kerjanya," ucapku setelah selesai memasangkan dasinya, tanpa menanggapi ucapannya sama sekali.

Aku pun beranjak dari hadapannya. Namun Mas Wira dengan cekatan meraih lenganku. Kemudian membawaku ke dalam pelukannya.

"Jangan begini, Yessi. Aku benar-benar tidak tenang melihatmu seperti ini. Harus dengan apa aku meminta maaf padamu? maaf, lain kali aku akan lebih mengontrol diriku. Akan tetapi, ini sudah terlalu lama. Aku tak sanggup jika menunggu lebih lama lagi," ungkapnya sembari mendekapku erat.

Ya, mungkin memang benar. Aku yang salah di sini. Aku tak pengertian dan membiarkannya 'puasa' terlalu lama.

"Ya, Mas. Maafkan aku karena telah membuatmu menganggur selama ini. Ini memang salahku. Aku minta maaf," sindirku.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang