Gara-Gara Panci

541 23 0
                                    

Pikiranku melayang entah ke mana. Padahal aku sedang menggoreng ikan sekarang. Teror dari orang itu membuat pikiranku seketika buntu. 

Setelah insiden itu, Mas Wira hanya menenangkanku saja. Meski aku berharap ada suatu tindakan yang dilakukannya untukku. Entahlah, aku sendiri pun enggan memaksanya. Kelelahan yang menggelayut di wajahnya membuatku cukup merasa segan untuk mengganggunya.

"Non, jangan ngelamun, nanti ikannya gosong," bisik Bi Inah yang membuatku spontan terkejut.

"Oh ... iya, Bik." 

Tanganku dengan lincah membalik ikan di penggorengan.

"Daging prestonya kayaknya sebentar lagi mateng tuh, Non." Bibi mengingatkan sambil menunjuk tungku sebelah yang di gunakan untuk memasak rawon menggunakan panci presto.

Aku pun mengangguk. 

Bik Inah lantas beranjak dari sisiku. Seperti tak sadar, aku pun kembali dalam lamunanku. Tak berapa lama, aku dibuat terkejut dengan bunyi nyaring dari panci presto. 

Buru-buru kukecilkan api kompor. Setelah agak lama dan kupastikan rawonku telah matang, aku pun mematikan apinya. Aku masih ingat pesan Bi Inah agar jangan membuka tutupnya dulu sebelum uap panasnya hilang. Jadi kubiarkan dulu selama beberapa menit.

Mama kemudian masuk ke dapur sambil berkata,

"Yessi, rawonnya udah mateng belum? Tamu mama udah dateng. Tolong kamu siapkan, ya?" 

Setelah berpesan seperti itu, mama kembali keluar dapur dengan terburu-buru.

Kupikir sudah cukup didiamkan dan uap panasnya juga telah hilang. Segera kubuka tutupnya. Namun, sedikit agak susah karena kemungkinan lengket. Kuambil sendok lalu kucongkel tutup panci presto tersebut. Akan tetapi,

Dhuaarrr!

Kejadiannya begitu cepat namun refleks aku bisa menghindar. Mungkin juga karena Allah masih melindungiku. Panci tersebut meledak sampai tutupnya terlempar ke atas plafon. Kuah rawon berceceran di mana-mana.

Aku sangat shock hingga terduduk lemas bersandar di dekat almari dapur. Bi Inah tergopoh-gopoh berlari ke arahku.

"Ada apa, Non? Ya Allah, pancinya meledak. Non nggak apa-apa, kan?" Bibi memeriksa semua kondisi tubuhku memastikan bahwa tidak ada yang terluka sedikitpun. 

Kepalaku menggeleng tanpa mampu berkata apapun lagi. Betul-betul sangat shock sekali. Aku tidak bisa membayangkan jika seandainya ledakan panci tersebut mengenai tubuh atau wajahku.

Mama mertua lalu datang ke dapur dengan  tergopoh-gopoh.

"Suara apa tadi? Apa yang meledak?" 

Namun sedetik kemudian, matanya sontak melebar.

"Ya, ampun! Pancinya meledak? Kok bisa? Pasti kerjaan kamu, kan???" Suaranya membahana hingga ke seluruh area dapur. Matanya melotot tajam ke arahku.

"Mm-maaf, Ma. Yessi kira uap panasnya udah hilang. Jadi Yessi paksa buka." Aku terbata menjelaskan.

"Kamu tau gak, panci itu harganya berapa? Kamu udah ngerusak barang kesayangan saya!!!" 

Mama mendatangiku lalu menjambak rambutku sambil diseretnya. Bi Inah berteriak memohon agar mama melepaskanku. Namun sepertinya mama benar-benar marah. Aku menjerit-jerit kesakitan.

"Sakit, Ma. Tolong lepasin. Sakit, Ma!" ratapku sambil memegangi tangannya yang menjambak rambutku.

Mama tak menggubris. Ia terus menyeretku hingga masuk ke dalam kamar mandi. 

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang