Malam ini hujan turun sangat deras. Aku segera beranjak menuju ke jendela kamar dan mengintip keluar. Dahan-dahan pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah tampak meliuk-liuk akibat terpaan angin yang cukup kencang.
Sudah pukul 11 malam, namun Mas Wira belum juga pulang. Pikiranku mendadak cemas. Takut terjadi apa-apa dengannya.
Sudah dua hari kepergian mama ke London guna mengantar Priska. Selama itu pula aku dengan Mas Wira belum bertegur sapa. Jika memang Mas Wira kecewa denganku, aku juga tak kalah kecewa dengannya. Akan tetapi, sehebat apapun rasa kecewaku terhadapnya, tak bisa kupungkiri jika aku pun mencemaskan kepulangannya.
Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat mobil Mas Wira yang baru saja memasuki halaman rumah. Kuhela napas sembari tersenyum lega. Senang rasanya jika orang yang kita tunggu kepulangannya, akhirnya tiba dengan selamat.
Aku melangkah turun ke lantai bawah. Kami berpapasan di ruang tamu. Aku terkesiap begitu melihat wajah Mas Wira yang tampak kuyu dan pucat. Jas hitam yang dikenakannya juga basah kuyup. Ya, ampun. Apa yang terjadi dengannya?
Aku bergegas mendekatinya.
"Mas sakit?" tanyaku khawatir sembari memegang dahinya. Panas.
"Cuma pusing sedikit," ujarnya seraya memijat pelipisnya.
"Tapi wajah Mas pucat sekali, bajunya juga basah. Mas dari mana memangnya?" tanyaku panik.
"Tadi, habis ketemu klien di luar," sahutnya.
Aku berinisiatif membuka jasnya. Tak lupa kemejanya pun turut kubuka sekalian. Sedikit mengherankan memang. Ketemu klien kok bisa sampai hujan-hujanan?
"Mas langsung naik ke kamar aja. Ganti celananya. Aku ke dapur dulu mau buatin air jahe," ucapku.
Mas Wira mengangguk lalu berjalan menaiki anak tangga.
Sementara aku beranjak ke dapur sambil membawa pakaian basahnya lalu menaruhnya ke dalam ember berisi pakaian kotor.
Kuambil dua keping jahe sebesar ibu jari. Setelah kucuci, kemudian menggepreknya. Lalu kurebus menggunakan satu setengah gelas air, tak lupa kucampur dengan beberapa biji cengkeh, sedikit kayu manis, serta gula aren agar rasanya lebih nikmat. Setelah mendidih agak lama, baru kumatikan api. Kemudian, kutuangkan wedang jahe tersebut ke dalam gelas.
Ketika aku masuk ke dalam kamar, kudengar Mas Wira muntah-muntah di kamar mandi. Aku segera meletakkan wedang jahe di atas meja dan bergegas menghampirinya.
"Mas masuk angin? nanti aku kerokin, ya?" kataku sembari memijit tengkuknya.
Suamiku itu mengangguk lemah, kemudian berjalan keluar kamar mandi. Aku menyerahkan wedang buatanku padanya. Ia lalu meneguknya hingga hampir habis setengah gelas.
"Enak. Pinter bikinnya," pujinya. Aku mendadak tersipu. Wajah sudah pucat pun, ia masih sempat-sempatnya memujiku.
"Aku ambil balsem dulu, ya? Mas baring aja dulu di ranjang."
Aku lalu mengambil balsem di dalam laci. Kemudian menghampiri Mas Wira yang tengah berbaring tak berdaya di atas ranjang, masih dengan mengenakan kaos rumahannya yang berbahan tipis.
"Sini, Mas. Aku bantu buka bajunya," ucapku sembari membantunya melepaskan kaos dari tubuhnya. Aku memaklumi jika tenaga Mas Wira pasti sangatlah lemas, sampai-sampai membuka bajunya sendiri pun perlu dibantu.
Aku menyuruhnya untuk tengkurap. Lalu, mengolesi punggungnya dengan balsem. Mendadak aku tertegun tatkala melihat bekas luka memanjang yang ada di punggungnya. Luka apa ini? baru kali ini aku melihat dengan jelas punggung suamiku. Lukanya seperti bekas jahitan, yang mana dagingnya timbul dan bentuknya panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Berselimut Noda
Roman d'amourYessi harusnya menyadari jika Wira menikahinya hanya karena ingin menutupi aibnya saja. Adalah Yessi Ananda, seorang gadis cantik, baik hati serta ceria. Suatu hari ia menemukan jika dirinya tengah mengandung seorang janin. Menjadikan ayahnya yang...