Akhirnya, rencana kami untuk pergi ke psikiater pun batal. Tanggung juga mengingat waktu praktik dokter Maura yang sudah hampir habis. Ujung-ujungnya Mas Wira malah membawaku keliling-keliling.
Tak ada percakapan sedikitpun selama di perjalanan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, sementara Mas Wira sibuk ... menyetir.
Setidaknya, itu yang kutangkap dari visualnya yang terlihat sedang serius mengemudi. Tak tahu isi dalamnya bagaimana, apakah sama seperti diriku yang juga sibuk berpikir. Memikirkan ucapannya yang tadi, hingga sampai sekarang pun masih terngiang-ngiang di telingaku.
"Sudah makan?" tanyanya.
"Sudah," ceplosku tiba-tiba saking hilangnya konsentrasi.
Ah, mestinya kujawab belum, karena aku memang belum makan siang tadi. Bisa-bisanya mulutku ini memfitnah lambungku yang sudah kelaparan.
Tiba-tiba,
krruuuukk!
"Eh!" Aku sontak memegangi perutku yang baru saja bernyanyi. Sementara Mas Wira tampak mengulum senyum ketika aku meliriknya. Sembari menggosok dagunya dengan tangan yang bertumpu di jendela mobil. Sedangkan matanya tetap memandang ke arah depan.
"Mau makan di mana?" tanyanya.
"Terserah Mas aja," jawabku lirih menahan malu.
Ia terdiam.
"Mas, kenapa kita nggak makan di rumah aja?" tawarku kemudian.
"Tidak ada salahnya sekali-sekali kita makan di luar," sahutnya.
Oh, ya sudahlah. Mungkin dia memang sedang ingin mencicipi menu di luar.
Mas Wira menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe. Setelah itu, kami berdua pun turun dan memasuki cafe bernuansa elite tersebut.
Kami lalu memilih tempat duduk yang letaknya ada di sudut cafe. Selain karena nyaman, keberadaannya juga jauh dari jangkauan penglihatan para pengunjung lain, mengingat aku tipikal orang yang kurang suka apabila dilihat oleh orang lain. Kesannya seperti jadi pusat perhatian, dan itu membuatku tak nyaman sama sekali.
"Suka es krim?" tanya Mas Wira sembari membolak-balikkan buku menu.
"Suka."
"Mau yang rasa apa? atau kamu bisa pilih sendiri." Mas Wira menyodorkan buku menu untukku.
"Terserah Mas aja," tolakku secara halus dan memilih tak menerima buku menu tersebut.
Akhirnya Mas Wira sendiri yang memilihkan semua menu makanannya.
Selesai memesan, dan pramusaji juga sudah berlalu, Mas Wira kemudian pindah tempat duduk.
Dari yang awalnya kami duduk berhadapan, kini ia memilih duduk di sofa sebelahku. Secara spontan, aku pun menggeser dudukku hingga mepet ke tembok.
Aku mengambil ponsel lalu memainkannya. Sekadar untuk menghilangkan rasa canggungku.
"Maaf, ya. Hari ini kita batal konsultasi," ucap Mas Wira.
Aku menoleh dan tersenyum padanya. "Nggak apa-apa, Mas. Kapan-kapan juga bisa, kok," sahutku lalu kembali memainkan ponsel.
"Biar nanti aku yang tebus obatnya," katanya lagi.
"Nggak usah. Nanti aku pesen online aja," sahutku tanpa melihatnya karena sedang fokus ke layar ponsel.
Aku sangat terkejut karena tiba-tiba saja Mas Wira mengambil ponsel yang sedang kumainkan, kemudian menyimpannya ke dalam saku jasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Berselimut Noda
RomanceYessi harusnya menyadari jika Wira menikahinya hanya karena ingin menutupi aibnya saja. Adalah Yessi Ananda, seorang gadis cantik, baik hati serta ceria. Suatu hari ia menemukan jika dirinya tengah mengandung seorang janin. Menjadikan ayahnya yang...