Kesakitanku

865 33 0
                                    

Dengan tubuh gemetaran, aku pun bergegas masuk ke dalam kamar. Pikiranku kosong, dan kedua telapak tanganku sangatlah dingin. Sepasang tungkai kakiku lemas tak bertenaga.

Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Tak berapa lama, pintu didorong dari luar. Mas Wira masuk dengan terburu-buru.

"Yessi, anak kita sungguh kuat, ya—"

"Dia bukan anak kamu, Mas!" potongku cepat dengan suara bergetar.

Mas Wira mendekatiku dan mencoba meraih tanganku, namun segera kutepis.

"Yessi, tidak semua yang kamu dengar tadi itu benar," ujarnya meyakinkanku.

"Tapi memang kebenarannya begitu, kan?" Aku membuang tatapan ke arah lain, tak berniat memandang wajahnya yang menghiba.

"Yessi—"

"Bodoh sekali aku berharap lebih pada sesuatu yang memang tidak pantas untuk diharapkan!" Lagi-lagi aku memotong tegas perkataannya.

"Apa maksudmu?" tanyanya.

Kuhela napas demi melonggarkan dada yang terasa amat sesak. Seiring bulir-bulir air mata yang kini mulai berjatuhan tanpa bisa kutahan lagi.

"Sejak awal, seharusnya aku sadar diri jika kamu menikahiku hanya karena anak ini. Meskipun sebenarnya aku tak masalah jika tak dinikahi oleh siapapun. Bodohnya aku terlalu percaya dengan kehadiran seseorang yang kukira tulus namun ternyata bulus yang pandai menyimpan kebusukan di dalamnya. Bodohnya aku yang selama ini tak menyadari jika  tengah dimanfaatkan oleh kalian!" ungkapku berapi-api.

"Dan aku juga bodoh telah berharap lebih pada pernikahan ini. Kalian semua sama! penipu! Pernikahan ini palsu, tak layak aku mengenakan benda ini!" Kucopot cincin pernikahan dari jari manisku. Kuambil tangannya, lalu kuletakkan cincin tersebut di atas telapaknya.

Mas Wira menatap mataku dan cincin di tangannya secara bergantian dengan tatapan tak percaya.

"Apa yang kamu lakukan? Pakai ini. Tidak ada yang palsu di sini. Pernikahan ini sah di mata hukum dan agama." Lelaki di hadapanku ini meraih tanganku dan mencoba memasukkan kembali cincin tersebut pada jemariku. Aku jelas menolaknya.

"Lalu apa yang palsu? manusianyakah yang palsu?" Kutatap tajam matanya.

"Kubilang tidak ada yang palsu!" Mas Wira bersikeras memakaikan cincin tersebut, sepadan denganku yang juga bersikeras menolaknya.

"Aku tak sudi memakainya. Ambil ini atau kubuang!" Aku melepas kembali cincin yang berhasil ia masukkan ke dalam jemariku, kemudian bersiap melemparnya.

"Yessi! Apa-apaan kamu!" bentaknya sembari menatapku tajam.

"Kenapa memangnya? Apa gunanya aku memakainya? Toh, cincin ini tak berpengaruh apa-apa bagi pernikahan palsu yang sedang kita jalani. Kau, orang tuaku, dan juga orang tuamu hanya memanfaatkanku saja!"

Aku bergegas menuju ke balkon. Kemudian, mencampakkan sekuat tenaga cincin tersebut hingga terlempar jauh dan akhirnya jatuh di atas rerumputan yang tumbuh di halaman rumah.

Brakk!

Kudengar Mas Wira berlari keluar dan menutup pintu kamar dengan kencang. Setelahnya, tubuhku merosot ke bawah dan menangis sejadi-jadinya.

***
Hingga malam tiba, aku masih duduk meringkuk sembari memeluk lutut di sudut kamar. Entah sudah berapa liter air mata yang berhasil kukeluarkan sejak siang tadi. Alhasil, meski kedua mataku akhirnya membengkak, namun aku belum juga mampu menghentikan derasnya air yang keluar dari sana.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang