Bab 2. Luka Yessi

952 38 0
                                    

"Anak kurang ajar! tak tau malu! beraninya kamu mencoreng nama baik keluarga dengan aib yang kamu lakukan itu!" hardik papi saat itu.

Plak! Plak!

Belum puas papi mencaciku kini tangannya melayang menampar pipi kanan dan kiriku, membuat mami menjerit histeris karenanya.

Sementara Yessa, kakak perempuanku yang karakternya cenderung tomboy, hanya melihatku dari kejauhan dengan tatapan sinis.

Abangku yang bernama Yossi terus menenangkan papi yang kalap. Kalau bukan karena ditahan Bang Yossi, mungkin aku sudah mati bersimbah darah karena ditusuk oleh beliau menggunakan pisau.

Ya, papi sangat kalap menghajarku sampai berlari ke dapur dan mengambil pisau. Bang Yossi dengan sigap langsung menerjang papi yang hendak melukai putri bungsunya. Abangku yang memang dulunya seorang atlet taekwondo tak menyia-nyiakan kemampuannya itu. Entah bagaimana caranya pisau tersebut dapat terlempar dari tangan papi.

Sedangkan mami menjerit-jerit sembari memelukku, berusaha melindungi putri tersayangnya dari amukan papi. Aku sendiri hanya mematung tak bergerak dalam dekapannya. Rasanya sangat sulit untuk mencerna semuanya.

Rupanya aku yang belakangan sering muntah di pagi hari membuat orang tuaku menjadi curiga dan akhirnya mereka berinisiatif membawaku pada seorang dokter.

Aku sendiri yang memang belum menyadari jika telah berbadan dua, mendadak limbung begitu mendengar vonis dokter tersebut.

Duniaku serasa hancur saat itu juga. Masa depan yang telah kurancang dengan sangat baik di kepala, mendadak hilang begitu saja. Bekasnya pun tidak ada.

Belum hilang rasa syokku, papi mencaci dan menghajarku hingga bertubi-tubi.

"Harusnya tadi Bang Yossi biarin papi bunuh Yessi, Mi. Biarin Yessi mati aja ditangan papi. Yessi udah bikin malu keluarga," ucapku lirih tak berdaya dalam pelukannya.

Mami yang mendengar hal itu langsung membekap mulutku.

"Kamu bilang apa, hm? bilang apa barusan? jangan ngaco kalo ngomong. Mami nggak suka kamu ngomong gitu." Mami menangis sembari kian erat memelukku.

Sedangkan papi sudah dibawa masuk ke kamar oleh Bang Yossi untuk menenangkan dirinya.

"Kamu berbuat sama siapa, Nak? siapa yang udah melakukan ini sama kamu? apakah Bram?" tanya mami.

Aku menggeleng. Bram memang kekasihku. Tapi sudah dua minggu ini kami tidak bertemu karena dia keluar kota.

"Lalu siapa? cerita sama mami, Nak ...," rintih mami pilu.

Sementara aku hanya diam. Lidahku kelu untuk bercerita. Rasanya semuanya sangat gelap, dan membuatku bingung bagaimana hendak menceritakannya dari awal.

Beberapa hari kemudian, Bram memutuskanku begitu saja melalui sebush chat setelah aku mengungkapkan semua yang terjadi padanya.

Lagi-lagi aku tertawa miris. Lelaki yang kupercaya dengan baik setelah keluargaku itu juga tega meninggalkan pada saat masalah besar sedang menimpaku. Padahal aku tak pernah memintanya untuk bertanggung jawab, sebab memang bukan dia pelakunya. Hanya sekadar berbagi beban, itu saja.

Brakk!! Brukk!!

Aku tersentak, dan lamunanku seketika buyar mendengar suara pot bunga dibanting. Disusul suara ibu mertuaku yang mengomel sembari menyindirku.

"Mending beres-beres, kerjaan cepet kelar dari pada bengong nggak jelas. Ujung-ujungnya kesambet setan! malah jadi nyusahin orang!" Mertuaku mengomel sembari meletakkan pot bunga dengan sangat kasar. Untung tidak pecah.

Karena tidak mendapatkan izin dari ibu mertua untuk berkunjung ke rumah orang tuaku, aku pun memutuskan duduk-duduk di teras. Tak terasa malah keterusan melamun.

Merasa tidak enak, aku pun dan bergegas bangkit untuk membantunya. Meskipun sebenarnya aku juga bingung apa yang harus dikerjakan karena tidak ada yang salah dengan kebun bunga mini ini. Semuanya telah tertata cantik dan rapi karena setiap harinya ada tukang kebun yang datang merawat dan membersihkannya.

"Tuh! pot-pot pada dipindahin ke sana! kalo di sini nggak enak dipandang mata. Bikin jelek! sekalian cabutin rumputnya!" rutuknya lagi. Setelah puas mengomel, beliau pun beranjak masuk ke dalam.

Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali berlapang dada. Mencoba berpikir positif jika mungkin mertuaku bersikap seperti itu karena beliau belum mengenalku. Bukankah memang sebagian orang memiliki karakter seperti itu?

Setelah lebih mengenal satu sama lain, baru sikap kakunya akan mulai melunak.

Mobil Mas Wira memasuki halaman ketika aku sedang memindahkan pot ketiga. Tumben, jam segini dia sudah pulang. Padahal, selama seminggu menikah dengannya, paling cepat dia pulang jam 8 malam. Itu pun baru sekali.

Bibirku tersenyum ketika menyambutnya turun dari mobil. Meskipun senyumku hanya dibalas dengan raut wajah dingin serta alis yang bertaut.

Mas Wira menghampiriku sembari menatapku dari atas hingga ke bawah. Membuatku turut serta mengikuti pandangannya dan melihat kedua tanganku yang belepotan tanah akibat mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot.

"Kamu ngangkatin pot? siapa yang nyuruh?

bukannya ada Pak Diman yang ngurusin kebun?" tanyanya dengan beruntun.

"Ma-" Ucapanku mendadak terpotong ketika ibu mertuaku berjalan keluar dengan tergopoh-gopoh.

"Eh, Wira udah pulang. Tumben hari ini cepet pulangnya, Nak?" mama tersenyum manis sekali sembari menatap putranya.

"Iya, Ma. Kebetulan kerjaan cepet siap hari ini. Ini kenapa Yessi yang ngerjain? memangnya Pak Diman hari ini nggak masuk?" Mas Wira gantian bertanya pada mamanya.

"Oh .... Ini Yessi udah mama larang nggak usah ngurusin kebun malah ngeyel. Udah Yes, nggak usah dikerjain. Nanti kamu capek." Mama kemudian merangkul dan membawaku masuk ke dalam rumah.

Hmm, pintar bersandiwara rupanya.

Setelah berada di dalam rumah dan memastikan jika Mas Wira tak melihat, mama lalu mencubit lenganku dengan sedikit keras.

Sontak, aku pun memekik tertahan.

"Aww! sakit, Ma!"

"Makanya kamu jangan goblok jadi orang. Harusnya kamu langsung lari masuk ke dalam rumah waktu mobil Wira sampai!" omel mama dengan suara tertahan sembari memelotot tajam.

Aku menjadi serba salah tak tahu harus menjawab apa, karena kejadiannya memang begitu cepat. Tahu-tahu mobil Mas Wira sampai dan tak ada lagi kesempatan bagiku untuk lari.

Mama langsung berjalan ke dapur begitu melihat Mas Wira telah berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas mengikuti mama sebab ingin mencuci tanganku yang kotor.

***

Di kamar, aku sibuk mengusap lengan yang barusan dicubit oleh mama. Bukan apa-apa, kulitku sangat sensitif jika terkena benturan ataupun cubitan sedikit saja. Akibatnya, warnanya akan langsung berubah menjadi kebiruan, dan baru hilang setelah beberapa hari.

Itulah sebabnya, ketika menikah dengan Mas Wira, riasan makeup-ku sedikit agak tebal. Tentunya agar dapat menutupi bekas tamparan papi yang tampak membiru di pipi. Meskipun sebelumnya aku pernah mempunyai cita-cita jika menikah nanti ingin menggunakan makeup tipis, agar terkesan alami.

Hal itu juga yang sempat menjadi pertanyaan Mas Wira tatkala dia datang melamarku. Saat itu kami diberi kesempatan untuk mengobrol berdua, agar bisa mengenal satu sama lain. Meskipun saat itu aku lebih banyak diam dan menunduk karena fokus pada luka lahir dan batinku.

"Itu kenapa?" tanyanya menunjuk pipiku.

"Ditampar papi" sahutku datar.

Raut wajahnya berubah menjadi rasa iba ketika melihatku. Namun bukan itu yang kubutuhkan.

















































Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang