Ngidam Malam-Malam

530 18 0
                                    

Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba  pandanganku menangkap sosok seperti Bram. Dia terlihat akan menaiki sepeda motornya yang sedang terparkir di depan sebuah ruko.

Mataku sampai memicing demi memastikannya. Ya! aku tak salah lihat kalau orang itu adalah Bram. Meskipun hanya sekilas, aku sangat yakin jika itu dia. Tiga tahun menjalin kasih, tak membuatku lupa tentang bagaimana bentuk postur tubuhnya. 

Tapi, kenapa lelaki itu ada di sini? bukankah katanya dia sedang berada di Palembang karena katanya hendak merintis usaha baru milik ayahnya, dan akan kembali setelah lima bulan? Sementara sekarang ini  baru dua bulan semenjak kepergiannya. Aku jelas tahu. Sebab, dia pergi meninggalkan kota ini di saat hubungan kami masih baik-baik saja. Dan memutuskanku begitu saja pada saat dia sedang berada di luar kota.

"Ada apa, Yessi? kamu sedang melihat apa?" tanya Mas Wira tiba-tiba dan hampir membuatku terlonjak saking kagetnya.

"A-anu, Mas ... itu—"

"Pingin rujak lagi?" potong Mas Wira.

"Bukan! anu ... itu rumahnya bagus," jawabku cepat terkesan asal-asalan.

Mas Wira tersenyum lebar menanggapinya. Sepertinya dia tahu jika jawabanku tadi hanya untuk menutupi salah tingkahku saja.

Kemudian, kami sama-sama terdiam lagi. Meskipun hatiku tetap saja berkecamuk karena memikirkan Bram. Namun, seketika aku sadar dan berusaha menepis pikiranku jauh-jauh. Bagaimanapun juga, aku telah menjadi istri orang sekarang.

***

Tak terasa, pernikahanku dengan Mas Wira sudah menginjak satu bulan. Itu tandanya usia kehamilanku pun ikut bertambah. Aku merasa, di usia kehamilanku yang sudah dua bulan ini, penciumanku malah semakin sensitif.

Aku jadi tidak suka dengan aroma ikan, ayam, dan juga telur. Aku sangat tersiksa ketika sedang memasak dan saat itu ada mertuaku yang ikut berdiri di dapur mengawasiku. 

Jika tak ada dia, aku akan muntah di kamar mandi sepuas-puasnya.

Hari ini, aku mengakalinya dengan menggunakan masker. 

"Ngapain sih, masak pake masker segala? Memangnya ada virus di sini? nggak usah sok deh! Gaya banget jadi orang!" omel mertuaku dengan menggunakan nada suara seperti biasanya, judes.

"Yessi lagi flu, Ma. Kalo nggak pake masker, takut nularin orang," alasanku sembari mengaduk masakan di dalam kuali.

"Isshh! kalo lagi flu kenapa gak bilang dari tadi? Haduuhh! jangan sampai itu virusnya kena ke masakan. Awas! minggir-minggir! biar saya aja yang masak!" Mama memaksa menyingkirkanku, dan membuat tubuhku hampir jatuh ke sisi kiri kalau saja aku tak langsung berpegangan pada pintu almari dapur.

Mama kemudian mengambil alih pekerjaanku yang sebenarnya sudah hampir selesai, sebab hanya tinggal mematangkan sayurnya saja. Sementara untuk lauknya sendiri sudah lebih dulu terhidang di meja makan.

***

Malam harinya, aku terbangun ketika tiba-tiba mulutku menginginkan sesuatu. Ah, bayi kecil, tidak bisakah kau menahan keinginanmu sebentar saja? setidaknya tunggu sampai matahari terbit.

Aku mengusap perut yang masih tampak rata seraya menarik napas sejenak. Teringat pesan mami yang dulu selalu mewanti-wantiku.

"Rawat dan sayangi dia. Sekalipun kamu tidak menginginkannya. Dia tidak tahu apa-apa, Yessi. Jangan sekali-kali kamu mengutuknya. Mami tidak pernah mendidikmu jadi orang jahat, kan? Kalau kamu tidak mau merawat, biar nanti mami saja yang merawatnya kalau sudah lahir. Yang penting sekarang rawat dia baik-baik selama dalam kandungan. Ini bayi mami, mami titip bayi mami di rahim kamu."

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang