Obat Hati

664 26 0
                                    

"Kenapa kau dulu tidak menikahi Priska saja? Bukankah ibumu lebih menyukainya ketimbang aku? Orang tuanya bahkan lebih kaya dari orang tuaku. Pasti kalian akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah diberi oleh orang tuaku!" 

Mas Wira melirik tajam ke arahku. Mungkin tersinggung dengan ucapanku barusan. Biar saja. Aku memang sengaja ingin memancing emosinya. Namun sayangnya hanya sebentar. Setelahnya, ia kembali fokus menatap layar macbooknya.

"Priska cantik, modis, kuliahnya di luar negeri. Apa lagi yang kurang darinya?" 

"Dia bahkan memiliki daya tarik yang mampu memikat lelaki. Aku saja yang wanita kagum padanya." Lagi, aku kembali memancingnya.

Sial! Lelaki itu bahkan terlalu asik dengan pekerjaannya. Ia tak mengacuhkanku sama sekali. Kesabaranku nyaris habis sekarang.

"Aku ingin cerai saja," ucapku akhirnya. 

Mas Wira kembali menghadiahiku tatapan tajam yang menusuk. "Kamu bilang apa?"

"Aku sangat lelah. Aku benar-benar ingin menyerah. Tolong lepaskan aku. Bisa kan?" ucapku memelas. Memohon belas kasih padanya.

Ia bangkit dan berjalan menghampiriku. 

"Seribu kali pun kamu meminta, aku tak akan mengabulkannya, Yessi. Kumohon, berhentilah mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal."

"Tapi, akalku sudah benar-benar rusak sekarang. Kamu nggak tau kan apa yang aku rasakan selama ini? Hancur, Mas! Sakit! Hatiku sakit sekali rasanya!" ucapku dengan mata berkaca-kaca.

"Aku hanya ingin sebentar saja menenangkan diri. Menghindar dari segala sesuatu yang membuatku semakin stres, Mas! Tolong pahami keadaanku."

"Jadi, maksudmu kita pindah dari sini?" tanyanya dengan lembut.

"Bukan pindah, tapi cerai! Ceraikan aku sekarang!" Aku tetap bersikeras agar ia mau menceraikanku.

"Tidak. Kita akan pindah dari sini. Tapi tidak untuk bercerai!" Setelah berkata seperti itu, Mas Wira beranjak pergi meninggalkanku.

"Bisa kan, selesaikan masalah dulu lalu pergi? Kamu selalu pergi ketika masalah belum selesai. Aku benci sekali denganmu!" 

Tanganku lalu meraih vas bunga kecil berbahan kaca yang ada di sebelahku. Dan dengan perasaan yang amat kesal,  kulemparkan vas bunga tersebut ke arahnya.

Bugh! 

Prang!

Aku sontak menutup mulut lantaran kaget ketika vas bunga yang baru saja kulempar benar-benar menghantam punggungnya. Dan seketika pecah ketika membentur lantai. Ah, entah kenapa tanganku tadi refleks melakukannya.

Gegas, aku berlari menghampirinya.

"Mas ...?" Aku sedikit khawatir ketika melihatnya kesakitan.

"Kamu tega sekali Yessi. Kalau kena kepalaku lalu bocor, gimana?" protesnya sembari nyengir menahan sakit.

Ah, benar juga. Kenapa aku tidak terpikir sama sekali tadi? Kalau kepala Mas Wira bocor lalu gegar otak, bagaimana? Ya ampun, ceroboh sekali tanganku.

"Aku ... aku refleks tadi, Mas. Nggak sengaja."

"Sakit, Mas?" tanyaku sambil menaikkan kaos di bagian punggungnya. Terlihat warna kemerahan bekas lemparanku tadi. Kasihan Mas Wira. Aku jadi merasa bersalah sekarang.

"Lumayan." Ia menjawab sambil tersenyum memandangku. Entah apa yang membuatnya tersenyum. Sudah kubuat sakit, bukannya memarahiku, malah tersenyum. Kan aneh.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang