Aku baru saja masuk ke dalam kamar dan tak menemukan keberadaan Mas Wira di sana. Sudah pukul delapan malam namun suamiku itu belum juga turun untuk makan malam. Tidak biasanya ia seperti ini.
"Mas ...!"
Kupanggil dia seraya mengetuk pintu kamar mandi. Siapa tahu ada di dalam. Namun tak ada sahutan. Sepertinya memang kosong. Ke mana ya, Mas Wira?
Samar-samar, aku mendengar suara Mas Wira sedang mengobrol di balkon. Aku lantas berjalan ke arah sana. Pintu balkon dalam keadaan terbuka sedikit. Agar tidak ketahuan, aku memilih mengintip keluar melalui gorden yang sedikit kusibakkan.
Tampak Mas Wira yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya dengan raut wajah tegang. Sampai-sampai aku bisa melihat rona wajahnya yang memerah karena emosi. Sedang berbicara dengan siapa dia? Kenapa bisa sampai seemosi itu?
Kutajamkan pendengaranku demi mendengar obrolannya.
"Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!"
Aku terkesiap. Mas Wira sedang berdebat dengan siapa sebenarnya? Kenapa menyebut kata 'istri'? Aku sungguh penasaran sekali. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan oleh suamiku.
"Kau boleh ganggu hidupku. Tapi jangan Yessi. Sekali saja kau mengusiknya, kupastikan hidupmu tidak akan tenang!"
Aku terpaku di tempatku berdiri. Ancamannya kepada sang lawan bicara membuatku tercenung beberapa saat. Apakah ini ada hubungannya dengan si pengirim foto itu? Dan juga, mengenai rasa cemburu Mas Wira yang tanpa alasan itu, apakah ada hubungannya juga? Nalarku mencoba menerka-nerka.
Tiba-tiba pintu digeser dari luar. Mas Wira masuk dan kami berdua pun sama-sama terkejut. Gestur tubuhnya terlihat salah tingkah mendapatiku sedang berdiri di dekat pintu balkon.
"K-kenapa berdiri di sini, Yessi? Sudah makan?" tanyanya.
"Mas bicara sama siapa barusan?" tanyaku sambil menatap lurus kedua matanya.
Terdengar helaan napas dari hidungnya.
"Tidak baik menguping pembicaraan orang, Yessi,"
sahutnya sambil berlalu.
"Tapi kenapa harus membawa-bawa namaku? Memangnya siapa yang telah menggangguku, Mas?" Aku coba menyejajari langkahnya.
Mas Wira tidak menjawab pertanyaanku. Tangannya kini bergerak memegang knop pintu dan berniat membukanya, namun segera kututup kembali pintu itu.
"Mas!" Kutatap tajam kedua matanya setelah aku berhasil menghadangnya.
"Jawab pertanyaanku!" tegasku lagi.
Mas Wira kembali menarik napas, lantas menangkup kedua pipiku. "Tidak ada yang mengganggumu, Yessi. Kamu aman bersamaku."
"Bohong! Kamu bohong, Mas! Aku mendengar semuanya tadi. Sebenarnya apa yang terjadi, Mas? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" cecarku.
"Atau ... atau ini bukan anak kamu, Mas? Benar, kan? Bukan kamu yang melakukannya?" sambungku lirih dengan mata berkaca-kaca.
Ia meraih tubuhku ke dalam pelukan.
"Kamu bicara apa, Yessi? Ini anakku. Anak kita," ujarnya meyakinkanku.
"Aku tidak percaya. Aku merasa janggal dengan semuanya. Aku merasa Mas telah merahasiakan sesuatu dariku."
Segera kulepas rengkuhannya dan kembali berkata,
"Kemarin, ada yang mengirimiku sebuah foto."
"Foto apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Berselimut Noda
RomanceYessi harusnya menyadari jika Wira menikahinya hanya karena ingin menutupi aibnya saja. Adalah Yessi Ananda, seorang gadis cantik, baik hati serta ceria. Suatu hari ia menemukan jika dirinya tengah mengandung seorang janin. Menjadikan ayahnya yang...