4. Rasa Trauma

722 30 0
                                    

Siang ini, langit tampak cerah. Semilir angin sepoi-sepoi terasa menyapu ke wajahku. Harusnya aku bisa mengantuk karenanya. Namun lantaran benakku masih dibayangi perihal mimpi buruk semalam, alhasil aku pun menjadi agak sedikit ketakutan, hingga tak terpikir sama sekali agar kedua mataku bisa mengantuk.

Sebenarnya, setelah Mas Wira menyelimutiku tadi malam, mataku menolak untuk dipejamkan lagi. Bagaimana tidak, mimpi buruk itu selalu datang setiap mataku mulai terpejam.

Sungguh aku sangat takut sekali, namun sebisa mungkin kutahan. Untung Mas Wira tak melihatku sebab posisi tidurku yang membelakanginya. Setelahnya, kedua mataku pun tetap terbuka lebar hingga pagi menjelang.

"Dicariin ke mana-mana ternyata malah enak-enakan duduk di sini. Kamu ini ya! kerjaannya ngelamun terus tiap hari! jangan berpikir kamu bisa jadi tuan putri di rumah ini! Enak saja!"

Lagi. Mertuaku mencerocos tiada henti seraya berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya.

"Ada yang bisa Yessi bantu, Ma?" tanyaku lembut penuh pengertian.

"Ada, belanja sana! beli ikan sekilo, cabe setengah kilo, bawang merah setengah kilo, sayurannya sekalian!" mama menyerahkan selembar uang berwarna merah kepadaku.

Aku menerimanya dengan perasaan ragu-ragu.

"Me-memangnya uang segini cukup, Mah?" tanyaku sembari menatap gambar sosok proklamator yang terlihat sedang tersenyum di dalamnya.

"Ya kamu pinter-pinterlah ngaturnya gimana! Usahakan uang segitu cukup. Kalo bisa pun lebih!"

Belum lagi mulutku terbuka hendak menanyakan sesuatu, mama sudah masuk ke dalam rumah sembari membanting pintunya.

Brak!!

Mataku sontak ikut berkedip tatkala pintu itu tertutup dengan kasar.

Meskipun aku belum pernah berbelanja sama sekali, namun jika mengingat banyaknya jumlah barang yang ingin dibeli, membuatku ragu akan kecukupan uang yang sekarang ada di dalam genggamanku ini. Bukankah sekarang harga semua barang sudah pada naik?

Mungkin, hanya harga diriku yang turun.

Jangan bilang bahwa aku memiliki banyak uang karena orang tuaku kaya raya. Semua kartu milikku telah dibekukan oleh papi semenjak kejadian itu.

Lalu suamiku? ah, aku tak pernah terpikir diberi uang olehnya. Aku juga tak pernah berpikir untuk memintanya. Entahlah, aku sendiri tak tahu dengan jalan pikiranku ini. Rasanya semua buntu semenjak kehamilan yang sama sekali tak pernah kuharapkan ini.

Aku miskin sekarang.

Dan juga terluka ... sangat terluka.

Mengingat uang di tanganku hanya segini, dari pada mama mertuaku semakin berang jika uangnya berkurang untuk ongkos, aku pun memutuskan untuk berjalan kaki ke pasar.

Aku sendiri belum tahu seluk beluk daerah ini. Entah sejauh apa letak pasarnya pun aku tak tahu. Aku hanya melangkah atas dasar yakin saja.

Di persimpangan, aku bertemu dengan seorang ibu-ibu. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku pun bertanya padanya.

"Bu, maaf mau tanya, letak pasar sayur ada di mana ya? apakah masih jauh dari sini?"

"Ada di belakang pabrik kertas yang di sono itu. Kalo jauhnya ya lumayan, Neng. Cuma kalo jalan kaki ya capek juga," sahut ibu itu sembari menatapku dari atas hingga ke bawah.

Aku memahami maksud tatapannya, mungkin ibu tersebut merasa aneh melihatku hendak ke pasar dengan hanya berjalan kaki.

"Memangnya nggak capek jalan, Neng? mending naik ojek aja," tuturnya lagi.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang