Satu Lagi Rahasia

765 28 1
                                    

Setelah dua hari diopname, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tak ada pesan khusus dari dokter untukku. Beliau hanya menyarankan agar pikiranku jangan terlalu stres. 

Sungguh mustahil jika aku tidak stres. Masalahku yang bertubi-tubi seperti tak ada habisnya, sudah cukup memeras otakku. Apakah aku harus kembali ke psikiater lagi? Bosan rasanya jika harus menenggak obat penenang terus-terusan.

Akan tetapi, jika tidak seperti itu bisa dipastikan sebentar lagi aku akan dirawat di RSJ.

Dan selama dua hari aku menginap di rumah sakit, selama itu pula tak ada satu orang pun dari keluargaku atau keluarga suamiku yang datang menjengukku. Sedih? Tidak sama sekali.

Keluargaku jelas tidak tahu jika aku sedang dirawat. Dan keluarga suamiku? Wah, tentu akan lebih baik jika mereka tidak datang. Aku tak pernah mengharapkan kedatangan mereka sama sekali. Dan syukurnya, Tuhan mengerti akan keinginanku.

Beberapa saat kami hanya saling diam. Hingga mobil yang kami tumpangi melewati pondok tempat berjualan rujak.

"Mau rujak?" tawarnya.

Aku menggeleng. Di usia kehamilanku yang sudah masuk trimester kedua ini, sepertinya rasa mual dan ngidamku sudah tak terlalu parah. Syukurlah. Setidaknya, tenggorokanku tak lagi sakit akibat keseringan muntah. 

Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah. Jujur saja, hatiku sedikit deg-degan sekarang. Dengan berbagai masalah yang menimpaku sejak kemarin, membuatku tak tahu harus bagaimana bersikap di depan keluarga pembohong ini. 

Aku lalu menarik napas dalam. Mencoba bersikap tenang dengan berkali-kali  meyakinkan diri bahwa ini bukan kesalahanku. Aku adalah korban di sini. Untuk apa aku takut akan sesuatu yang tidak kulakukan?

Kami pun berjalan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, sudah ada kedua mertua serta adik iparku yang sedang duduk manis. Tumben sekali. Apakah mereka sengaja menunggu guna menyambut kepulanganku?

"Halo, kakak ipar. Gimana? Udah baikan? Dedek bayinya gimana? Ooh, aku inget. Berarti yang Kak Yessi muntah-muntah karena bau durian tempo hari itu karena lagi hamil, ya? Kok Kakak nggak bilang-bilang kalau lagi hamil, sih?" Suara Reni yang mencerocos hasil dari warisan ibunya, bagaikan petasan yang meledak-ledak di telingaku. 

Darahku seketika mendidih mendengarnya. Aku bisa merasakan sindiran pedas melalui kata-katanya barusan.

"Reni!" bentak Mas Wira yang akhirnya membuat adik perempuannya itu terdiam. 

"Yang sopan kamu, ya! Kamu sadar nggak kalau tingkah kamu itu malah kayak orang kampungan. Norak!" hardik Mas Wira lagi sembari memelotot tajam menatap Reni.

"Apaan sih, Mas! Orang Reni nanya baik-baik kok malah dikatain kampungan. Biasa aja, napa?" protes Reni lirih sambil menunduk. 

"Husss! Udah-udah. Malah jadi ribut, sih?" Tiba-tiba papa mertuaku datang menghampiri kami. Ia kemudian tampak canggung ketika melihatku. Mungkin merasa tidak enak terhadapku setelah aku berhasil menguping pembicaraan mereka tempo hari.

"Emm ... Yessi. Gimana keadaan kamu? Mengenai semua yang telah terjadi, papa dan mama minta maaf, ya? Papa nggak mengharapkan apa-apa. Hanya berharap agar pernikahan kalian langgeng dan bahagia selamanya."

Jujur, perutku mendadak mual dan rasanya ingin muntah sekarang. Bukan karena kehamilan ini. Melainkan karena ucapan lelaki paruh baya bergelar mertua yang terdengar munafik di telingaku. 

Cih, bisa-bisanya dia mengatakan tidak mengharapkan apa-apa. Padahal aku masih mengingat dengan jelas perkataannya waktu itu.

"Ma! Sini, Ma!" Sekarang, papa mertuaku memanggil istri kesayangannya. Dengan malas-malasan mama mertuaku lantas beranjak bangun dari duduknya, kemudian berjalan menghampiri kami.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang