Seseorang Yang Menyergap

744 24 0
                                    

POV Yessi.

"Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati.

"Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.

Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun  tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan.

"Mas kenal sama Bram?" 

Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat.

"Kenal. Dia temanku."

Jawabannya cukup membuatku terkejut. 

"Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. 

"Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis.

"Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.

Suamiku tertawa melihatku.

"Karena dia mantan kamu?" tebaknya setelah tawanya mereda, namun masih ada sisa senyum di bibirnya.

Aku mengangguk ragu. Tentu dia tahu kalau Bram itu dulunya kekasihku, karena semasa duduk di bangku kuliah dulu, kami pernah berpapasan beberapa kali manakala aku sedang dibonceng oleh Bram menggunakan motornya.

"Memangnya kalau temenan sama mantannya istri harus dikasih tau, gitu?" godanya.

"Ya seenggaknya, aku nggak akan sepenasaran ini," sahutku sembari menggigit bibir. Aku takut dia akan tersinggung.

Jemarinya lantas terangkat dan mengusap pipiku lembut.

"Pipinya merah. Ini malu apa marah?" godanya lagi.

"Mas, ih!" Aku menepis pelan tangannya. Rasa malu tak bisa kuelakkan lagi.

Ia kembali tergelak. Mendengar tawanya yang berderai, dibalut dengan wajah yang senantiasa tampak  cerah, membuatku terkadang

sulit menilai, mana tawa sebenarnya, dan mana tawa yang hanya sekadar menutupi luka. 

Tapi, semoga suamiku tidak cemburu. Sebab yang kutahu selama ini, dia cukup bijak menempatkan diri.

"Aku berteman dengan Bram sudah lama. Sejak kepindahanku ke Pulau Kalimantan," sahutnya setelah terdiam sekian detik.

"Tapi aku heran, kok kalian dulu bisa kayak nggak saling kenal gitu, ya? Padahal kan kita sering berpapasan," ungkapku mengutarakan rasa heran.

"Itulah yang aku tidak tau. Sejak kalian menjalin hubungan dulu, Bram seperti menjauhiku. Dia juga tidak pernah lagi terlihat nongkrong bersama genk-nya. Mungkin itu yang dinamakan euforia karena berhasil memacari primadona kampus," ucapnya sembari menatapku.

"Primadona apaan? Sembarangan kalo ngomong." Aku memukul pelan lengannya.

Dia tersenyum. 

"Aku pernah ketemu sama Bram. Dia marah setelah tau pernikahan kita. Kalian tidak putus?"  tanyanya kemudian. 

Pertanyaan yang seharusnya dia lontarkan sejak dulu, ketika kami akan menikah, tapi malah baru ditanyakannya sekarang.

"Dia ninggalin aku gitu aja, pas aku kasih tau kalau aku hamil. Mas kapan ketemu sama dia? Bukannya dia lagi ada di Palembang dari sebelum kita nikah? Katanya lagi mau ngurus usaha baru keluarganya di sana," terangku.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang