9. Yudha?

561 27 0
                                    

"Mau makan dulu, atau belanja dulu?" tanya Mas Wira menawarkan pilihan ketika kami berdua memasuki pintu sebuah mall.

"Terserah Mas saja."

"Hmm, sampai sekarang aku bingung kenapa wanita suka sekali mengeluarkan senjata ampuhnya itu," gumam Mas Wira.

"Hah? senjata apa, Mas?" Aku mengernyitkan dahi.

"Kata 'terserah'. Nggak mama, Rena, kamu, suka sekali bilang terserah," ucap Mas Wira.

"Terus, siapa lagi yang suka bilang 'terserah' ke Mas Wira?" godaku.

Lelaki itu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku. Aku juga tak berharap mendapat jawaban darinya. Niatku tadi hanya ingin menggodanya saja.

Kami berdua pun menaiki eskalator. Mas Wira memutuskan untuk mengisi perut dulu. Alasannya, karena perempuan tidak boleh telat makan, begitu katanya. Aku hanya mengiyakan saja. Meski aku tidak tahu apa alasannya. Kalau lelaki berarti boleh telat makan, begitukah?

Ketika sedang menunggu makanan tiba, tak sengaja pandangan mataku menangkap Bang Yossi yang juga tengah makan bersama dengan anak dan istrinya.

Aku segera meminta izin pada Mas Wira untuk menghampiri ke mejanya.

"Mas, ada Bang Yossi sama Kak Intan, tuh. Aku boleh ke sana sebentar, ya?" Aku menunjuk ke arah belakang punggung suamiku.

Mas Wira pun menoleh sekilas ke belakang.

"Ya udah, ayo kita datangi," ajaknya.

Kami berdua lalu menghampiri meja, di mana Bang Yossi duduk berkumpul dengan keluarga kecilnya itu.

Raut wajah Bang Yossi tampak terkejut ketika melihat kedatanganku. Ia pun segera bangkit dan langsung memelukku penuh rindu.

"Yessi, gimana keadaanmu? kamu sehat kan?" tanyanya setelah melepas pelukannya.

Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Kabar Yessi sehat, Bang."

"Kenapa nggak pernah kasih kabar? waktu itu mami bilang katanya udah pernah nyuruh kamu buat main-main ke rumah, kan?" tanya Bang Yossi lagi.

Dari ujung mata, aku tahu jika Mas Wira sedang menatapku. Aku memang belum cerita padanya mengenai hal ini, lantaran pada saat itu mama mertua tidak memberiku izin untuk mengunjungi mami. Jadi, ya untuk apa lagi aku memberitahukan hal tersebut pada suamiku.

"Yessi belum ada waktu main ke rumah, Bang. Nanti lah kalo ada waktu luang, pasti Yessi sempetin main, kok," sahutku beralasan.

Aku kemudian menowel pipi keponakanku yang berusia dua tahun. Sekadar untuk mengalihkan suasana agar Bang Yossi tidak bertanya lebih lanjut soal keluarga baruku. Lagi pula aku terlalu rindu pada keponakanku yang amat menggemaskan ini.

"Hai ... cantiknya Aunty, lagi mamam apa, sayang?"

Aku semakin gemas saja melihat pipinya yang penuh dengan makanan.

Sementara aku asik menggoda keponakanku sembari mengobrol dengan Kak Intan, Mas Wira dan Bang Yossi pun terlibat obrolan ringan.

Bang Yossi dan istrinya menyuruh kami agar satu meja dengannya. Namun dengan halus kami menolaknya dengan alasan karena sudah terlanjur memesan meja terlebih dahulu.

Sebelum meninggalkan meja, Bang Yossi sempat mengeluarkan dompet dan bertanya padaku.

"Yessi, ada uang jajan?"

Inilah kebiasaan Bang Yossi sejak dulu, selalu bertanya padaku, apakah Yessi ada uang jajan? Apakah uang jajannya masih? seolah-olah ia takut jika adik bungsunya ini sampai kehabisan uang. Meskipun dulu aku telah bekerja di sebuah perusahaan milik papi. Namun, ia tak segan-segan mengeluarkan berlembar-lembar rupiah dengan nominal yang tidak sedikit jika bertemu denganku.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang