Kemarahan Papi

672 22 0
                                    

Aku bergegas berlari ke halaman rumah.

"Kak! Berhenti! Ini bukan salah Mas Wira, Kak!" jeritku memohon.

Kak Yessa menghentikan pukulannya kemudian beralih melototiku.

"Udah dibikin hampir mati di rumah itu masih juga kamu bilang bukan kesalahannya??!" hardiknya.

"Itu perbuatan mamanya, Kak. Mas Wira baik," balasku sambil menangis.

"Aku mohon lepaskan Mas Wira, Kak. Dia suami Yessi," mohonku lagi

Kak Yessa tampak emosi, dadanya turun naik.

"Aarrgghh!! Kalo bukan Yessi yang minta. Udah gue bikin mati loe!!" teriaknya di telinga Mas Wira. Setelahnya ia berlalu dari tempat itu.

Begitu Kak Yessa pergi, aku langsung meraih Mas Wira yang sudah terkulai lemas ke dalam pelukan. Wajahnya babak belur, sudut bibirnya bengkak mengeluarkan darah. Aku yakin, tenaga Mas Wira cukup mampu untuk melawan kakakku yang membabi buta tadi. Akan tetapi, mengingat Kak Yessa adalah seorang wanita, terlebih kakak iparnya, pastinya membuat Mas Wira berpikir ribuan kali untuk melawannya.

"Mas, kamu masih sadar, kan?" Kutepuk-tepuk pipinya sambil menangis.

Matanya perlahan mengerjap menatapku, kemudian tersenyum.

"Yesssii ... aku kkangeenn ...!" sahutnya terbata.

Waduh, Mas. Sudah sakit pun masih bisa bilang kangen.

"Yessi, ayo, kita bawa Wira ke dalam, Nak. Obati dulu luka-lukanya," ucap mami.

Aku lalu mencoba memapah tubuhnya, namun tidak berhasil. Tubuh Mas Wira terlalu besar untukku, aku tidak kuat.

"Biar aku bangun sendiri saja, Yessi. Aku bisa," ujar Mas Wira pelan sembari menahan sakit.

Perlahan ia pun bangkit, namun karena agak limbung, ia pun hampir terjatuh.

"Hati-hati, Mas," ujarku sembari menahan tubuhnya. Kemudian, kutuntun ia masuk ke dalam rumah. 

Rencana aku akan membawanya ke kamarku, dan mengobatinya di sana. Namun tiba-tiba Kak Yessa datang.

"Mau kamu bawa ke mana dia?" tanyanya dengan sengit sambil menunjuk Mas Wira. 

"Ke kamar Yessi, Kak."

"Nggak usah! Ngapain kamu bawa dia ke kamar kamu. Sebentar lagi Papi pulang. Siap-siap kalian terima keputusan dari Papi mengenai rumah tangga kalian. Jadi jangan pernah bawa dia masuk ke kamar kamu!" 

Aku sontak terkesiap mendengar ucapan kakakku.

"Maksud Kakak apa?"

"Rawat dia di sana!" Kak Yessa menunjuk ke arah sofa tanpa menjawab pertanyaanku. Setelah itu ia pergi meninggalkan kami.

Aku pun urung membawanya ke kamar dan kembali memapahnya ke ruang tamu. Kududukkan ia di sana.

"Mas tunggu di sini dulu, ya? Aku mau ambil obatnya dulu."

Mas Wira mengangguk lalu menyandarkan kepalanya. Aku beranjak dari sana dan tidak lama kemudian kembali lagi sambil membawa sekotak obat-obatan.

"Sakit, Mas?" tanyaku ketika menyeka lukanya menggunakan alkohol. Kulihat ia meringis menahan sakit.

Ia menggeleng.

"Kalau sakit bilang aja. Lagi pula cuma pelan, kok," jawabku sembari dengan tekun membersihkan lukanya.

"Akkhh! Sakit, Yessi! Tapi sepertinya kakakmu marah sekali denganku. Dia sangat tidak terima kalau kamu disakiti oleh keluargaku. Tenaganya kuat sekali. Aku betul-betul tidak menyangka kakakmu pandai berkelahi."

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang