Ke Psikiater

533 28 0
                                    


 

Tepat pada saat jam makan siang tiba, Mas Wira datang menjemputku. Ia langsung masuk ke dalam kamar guna menemuiku.

"Sudah siap, Yessi?"

Aku yang baru saja selesai berdandan, seketika menoleh dan mendapati dirinya telah berdiri di ambang pintu. 

"Sudah, Mas," sahutku seraya meraih slingbag yang sebelumnya sudah kupersiapkan di atas nakas.

Kami pun berjalan beriringan. Ketika melewati ruang tengah, ada mama di sana yang sedang asik menonton televisi. 

"Mau pergi ke mana kalian?" tanyanya seolah menginterogasi. 

"Ke rumah teman, Ma," sahut Mas Wira.

"Penting banget ya temen kamu itu, sampai-sampai kamu pulang cepet dari kantor." 

"Kamu tau kan Wira, kalau perusahaan kita itu sedang tidak baik-baik saja. Itu artinya perusahaan sedang butuh sentuhan tangan kamu."

"Ayolah, tunjukkan totalitas kerja kamu. Semangat untuk menaikkan kembali nama perusahaan kita. Jangan seenaknya keluar-keluar sementara jam kantor masih panjang."

Aku tak tahu mengapa mama malah jadi membahas perusahaannya. Namun, dari mama, aku jadi tahu jika perusahaan keluarga ini sedang down. Pantas jika selama ini Mas Wira sangat gila kerja bagai kuda. Selalu tiba di rumah ketika hari sudah gelap.

Aku hanya memilih diam sembari menunduk. Sementara ketika aku melirik, tampak Mas Wira yang sedang sibuk memijit pangkal hidungnya. Mungkin ia sama sepertiku, bosan dengan ocehan mama yang rentetannya seperti suara petasan.

"Ini kan lagi jam makan siang, Ma. Wira pergi tidak lama. Lagi pula, apa selama ini Wira pernah tidak totalitas dalam bekerja? bahkan mama lihat sendiri kalau Wira sering pulang malam, kan?" balas Mas Wira.

"Wah! kamu sudah pintar melawan mama sekarang, ya? apa karena pengaruh dari seseorang, ya?" Mama melirikku tajam.

"Ck! Ma ... bukan begitu. Tidak ada yang mempengaruhi Wira sama sekali. Tolong jangan berprasangka buruk pada siapapun," pinta Mas Wira seperti memohon.

"Ingat ya, Wira! pernikahan kalian itu karena—"

"Cukup, Ma! cukup!" potong Mas Wira tegas.

"Wira hanya ingin keluar sebentar dan itu tidak mengganggu pekerjaan Wira sama sekali!" tegasnya lagi.

"Ayo!" Mas Wira menarik pergelangan tanganku keluar dari pintu rumah.

Namun, sebelum benar-benar keluar, aku sempatkan untuk menoleh sekilas ke belakang. Terlihat mertuaku yang sedang menahan geram sampai-sampai kedua bahunya naik turun. Ah, semoga beliau tidak terkena serangan darah tinggi setelah ini.

Di dalam mobil, kami berdua saling diam seribu bahasa. Aku menatap keluar jendela, menikmati hilir mudik kendaraan dan juga ruko-ruko di pinggir jalan. Sebenarnya aku sangat penasaran sekali dengan lanjutan kalimat mama yang sempat terpotong tadi. Kira-kira mama mau bicara apa tadi, ya?

"Yessi, kenapa diam?" tanya Mas Wira membuka percakapan.

Aku menoleh sembari tersenyum.

"Mas, kenapa harus membawaku ke psikiater? Aku kan tidak sakit jiwa?" tanyaku.

"Memangnya yang datang ke sana hanya orang yang sakit jiwa saja? Bukankah kemarin aku sudah bilang agar kamu memiliki teman curhat? Kamu bisa menceritakan pada dokter tersebut perihal apa yang sudah terjadi pada dirimu," sarannya.

Aku terdiam. Aku tahu saran Mas Wira itu baik. Meskipun aku tidak yakin apakah aku bisa bercerita pada dokter tersebut mengenai semua masalahku?

"Semua akan baik-baik saja." Mas Wira mengusap pucuk kepalaku pelan. Hatiku pun menghangat.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang