"Huek!"
Aku terus memuntahkan isi perutku hingga kerongkonganku terasa perih. Sarapan yang baru saja kutelan, seakan hanya singgah sebentar di lambungku sebelum akhirnya terkuras kembali hingga isinya telah habis, dan mungkin tak bersisa.
Di usia kehamilanku yang masih terbilang muda ini, aku memang kerap kali mengalami morning sickness.
Mas Wira hanya melirik sebentar dengan ekor matanya, sambil tangannya terus memasangkan dasi di leher.
Tadinya, aku yang hendak memasangkan dasi tersebut. Namun, perutku tiba-tiba terasa mual karena mencium aroma parfumnya, maka mau tak mau Mas Wira yang melakukannya sendiri.
Setelah puas menguras semua isi perutku dan memastikan rasa mualnya tak ada lagi, aku pun bergegas berkumur dan mengelap mulutku dengan selembar tissu. Setelah itu menghampiri Mas Wira yang sedang mengancingkan lengan kemejanya.
Aku berinisiatif hendak membantunya. Namun, baru saja tanganku terulur hendak meraih tangannya, Mas Wira langsung berkelit menghindar.
"Tidak usah. Ini sudah mau selesai," ucapnya dingin sembari sibuk mengancingkan lengan bajunya sendiri.
Tanganku mengambang beberapa detik, setelah itu kuturunkan perlahan diiringi dengan kegetiran yang menguasai hati.
"Aku pergi dulu," pamitnya kemudian.
Kepalaku mengangguk. Sedikit ragu, tanganku mulai terangkat hendak menyalaminya. Namun, kembali kuturunkan setelah melihat jika sepertinya Mas Wira tak berniat ingin disalami. Pria itu berjalan keluar kamar begitu saja.
Jemariku bergerak mengusap perut yang masih tampak rata. Maklum baru satu bulan usianya. Sementara pernikahanku dengan Mas Wira baru berjalan sekitar satu minggu.
Aku memang hamil duluan. Namun, jangan berpikir jika Mas Wira yang menghamiliku. Dia hanya korban di sini. Korban yang mau tidak mau harus menanggung semuanya meskipun bukan dia pelakunya.
Maka tak heran jika sikapnya begitu dingin terhadapku. Pernikahan untuk sekadar menutupi aib ini tentu tak diharapkannya. Meskipun aku juga sebenarnya tak berharap untuk dinikahi oleh siapapun. Namun, sikap keras papi yang seorang pengusaha ternama membuatku tak dapat berkutik apa-apa setelah beliau menjodohkanku dengan anak teman bisnisnya.
"Kalau tidak mau menikah sebaiknya digugurkan!" Teriakan papi yang menggelegar tiba-tiba terngiang kembali. Papi yang sebelumnya memang sudah emosi setelah mengetahui kehamilanku, makin berapi-api setelah aku menolak permintaannya untuk menikah.
Mami menangis histeris hingga bersujud di kaki Papi. Sementara aku masih termangu sembari memegang pipi yang baru saja ditampar oleh papi. Tidak sakit, hanya saja rasanya panas. Sementara sakitnya malah pindah ke hati.
"Jangan! jangan digugurkan. Mami mohon, Pi. Biarkan bayi itu tumbuh di dalam rahim anak kita. Bayi itu tidak bersalah." Mami terus memohon pada papi.
"Itu akibatnya kalau kamu terlalu memanjakan anak. Jadinya ya seperti itu. Pergaulan bebas, akhirnya hamil, kan?!" bentak Papi lagi.
Papi kemudian masuk ke dalam kamar setelah membanting pintu dengan cukup keras.
"Siapa yang menghamilimu, Nak. Coba katakan sama Mami siapa yang menghamilimu?" tanya mami sembari memelukku.
Aku hanya bisa menggeleng dalam pelukan Mami. Perasaanku yang hancur lebur setelah mengetahui bahwa ada janin yang tumbuh di rahimku membuatku tak mampu berucap sepatah kata pun.
Aku yang sangat ketakutan atas peristiwa yang telah kualami, ditambah kemarahan papi yang membabi buta seakan lupa bahwa aku ini putrinya, sontak menjadikan pikiranku kosong dan sangat syok. Aku tak dapat berpikir tentang hal apapun lagi.
Setelah kejadian itu, pernikahanku dengan Mas Wira digelar dengan sangat mewah. Dihadiri teman-teman bisnis dari kedua belah pihak.
Kehamilanku ditutupi dari publik. Mas Wira tahu mengenai hal ini. Tapi entah kenapa dia tetap mau menikahiku, meskipun dengan rasa terpaksa pastinya. Sementara orang tuanya tidak mengetahui perihal masalah ini. Keduanya hanya tahu jika putranya menikahi seorang gadis. Gadis bukan perawan lebih tepatnya.
Aku mengusap sudut mata yang mulai berair. Setelah itu keluar kamar dan bergegas menuruni anak tangga. Kudapati mama mertuaku sedang duduk di ruang tengah sembari membaca majalah.
"Kalau suami mau pergi ke kantor itu diiringi dari belakang, bawain tasnya. Jangan ndekem aja di kamar!" protes Mama mertuaku terdengar judes.
"I-iya, Ma" jawabku, lalu kembali berjalan menuju dapur.
Dari awal datang melamar, memang sudah terlihat dari wajah beliau yang tak ramah, seperti tak suka kepadaku.
Kalau papa mertua tipe orang yang tak ambil pusing. Ya seperti sikap lelaki pada umumnya. Manut dengan keinginan anak.
Tak disangka, ternyata mama mengikutiku dari belakang.
"Itu ayamnya dibersihin. Sebagian dimasak kari. Wira pingin makan kari hari ini. Sebagian lagi disimpan di kulkas!" perintah Mama lagi sembari menunjuk plastik berisi daging ayam yang diletakkan di dalam kitchen sink. Tentu dengan suara yang sangat tidak enak di dengar.
"B-baik, Ma," jawabku sembari membuka bungkusan plastik tersebut. Meskipun sambil menahan geli sebenarnya. Aku yang di rumah orang tuaku bak tuan putri, tak pernah memegang pekerjaan apapun, kini harus mengerjakan banyak tugas rumah tangga di rumah keluarga suamiku.
Jangan berpikir di rumah ini tidak ada asisiten. Punya, tiga malah. Namun entah kenapa mama Mas Wira lebih suka jika aku yang mengerjakan beberapa tugas rumahan ini, meski tidak semuanya.
***
Selesai beberes rumah sekaligus memasak, aku pun berbaring di ranjang sembari meluruskan kaki. Melonggarkan napas yang beberapa hari ini terasa sesak.
Tanganku mengelus permukaan ranjang berukuran luas ini. Lembut namun terasa dingin. Karena pemiliknya menolak untuk menidurinya setelah aku datang ke kamar ini. Dan lebih memilih tidur meringkuk di sofa yang letaknya ada di sudut kamar.
Ponselku tiba-tiba berdering. Ibuku yang menelepon.
[Yessi, mami kangen. Kenapa nggak pernah menghubungi mami selama di sana, Nak? kamu baik-baik aja, kan?]
Suara Mami terdengar bergetar di seberang sana. Pasti sibuk menahan tangis. Mami memang sosok wanita berhati lembut yang pernah kukenal.
[Yessi baik, Mi. Mami baik juga, kan?] sahutku tanpa menjawab keseluruhan pertanyaan mami.
[Kamu mau kan main ke sini hari ini? tenang aja nggak ada papi di rumah. Papi baru aja pergi keluar kota untuk beberapa hari ini.]
Agaknya beliau paham jika aku takut bertemu dengan Papi setelah kejadian itu. Aku takut, sementara Ph7api tak ingin melihat wajahku. Jijik mungkin, karena aibku telah mencoreng wajah dan nama baiknya. Jadi, ya memang kami sama-sama impas tak ingin bertemu.
[Bilang dulu sama suami kamu, kalo mau main ke sini,] lanjut beliau lagi.
[Iya, Mi. Nanti Yessi minta ijin sama Mas Wira dulu, ya?] sahutku sebelum sambungan telepon berakhir.
***
"Apa? baru seminggu tinggal di rumah ini kamu udah mau ngelayap, enak aja! nggak usah aneh-aneh kamu. Nggak usah kebanyakan tingkah. Pengantin baru itu pamali keluar-keluar. Kenapa? udah nggak betah kamu tinggal di rumah ini?" Semburan mama mertuaku terdengar bak rentetan senjata api ketika aku mencoba meminta izin padanya untuk mengunjungi rumah orang tuaku.
Tak memekakkan, hanya saja mengganggu dan tidak enak di dengar. Jika tidak menghargai karena beliau adalah mertuaku, pasti sudah kututup kedua telingaku karena muak dengan ocehannya.
"Lagi pula, Wira pasti tidak setuju dengan kemauanmu. Kamu belum bilang sama Wira kan?"
Aku menggeleng. "Belum, Ma."
Aku memang belum meminta izin pada suamiku. Rencananya, kalau dibolehkan, aku memang akan langsung meminta izin pada suamiku setelah ini. Bukankah memang begitu urutannya? ibu macan dulu baru setelah itu anaknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Berselimut Noda
RomansaYessi harusnya menyadari jika Wira menikahinya hanya karena ingin menutupi aibnya saja. Adalah Yessi Ananda, seorang gadis cantik, baik hati serta ceria. Suatu hari ia menemukan jika dirinya tengah mengandung seorang janin. Menjadikan ayahnya yang...