Celakalah Dia!

779 31 0
                                    

"Hufftt ...!" 

Aku mendengkus kuat-kuat, begitu membuka mata dan berhasil mengumpulkan kesadaran beberapa detik yang lalu, ternyata Tuhan masih memberikan cadangan nyawa untukku.

Ya, aku masih hidup.

Padahal akan lebih baik jika aku tiada saja. Entah apa maksud dari Sang Pemilik Nyawa membiarkanku tetap hidup hingga saat ini. Apakah Ia terlalu senang melihatku menderita?

Apakah Ia senang karena tengah mempermainkanku?

Pandanganku kemudian beralih ke sebelah kiri.

Apakah dengan menarik selang infus yang menancap di tanganku, akan membuatku mati dengan seketika? Aku sudah bersiap untuk menariknya. Akan tetapi, pintu mendadak terbuka dan Mas Wira pun masuk ke dalam. Membuatku urung melakukannya.

Seketika aku langsung memalingkan wajah. Rasanya tak sudi aku melihatnya setelah teringat akan pengakuannya yang membuatku tak sadarkan diri. Pengakuan cinta sekaligus kebej*tan yang telah dilakukannya, nyatanya berhasil membuatku melambung tinggi ke angkasa namun akhirnya terhempas saat itu juga.

Ternyata dia biang keladinya. Lelaki pengecut yang telah membuat hidupku hancur berkeping-keping.

"Yessi, kamu sudah sadar? mana yang sakit? Aku panggil dokter, ya?" 

"Nggak usah!"

Kudengar ia menghela napas. Kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang.

"Tolong maafkan aku, Yessi," ucapnya lirih.

"Ak-aku hanya terlalu mencintaimu. Aku benar-benar khilaf. Maafkan aku."

Ah, omong kosong apa ini. Berani-beraninya dia mengaku terlalu cinta sebagai alasan di balik sikap pengecutnya.

"Keluar, Mas!" perintahku tanpa mengalihkan tatapan dari jendela. 

"Yessi, kumohon—"

"Silakan keluar, sebelum aku berteriak!" titahku cukup tegas seraya menahan geram. Jemariku meremas sprei sebagai pertanda bahwa emosiku tengah memuncak sampai ke ubun-ubun.

Ia menghela napas.

"Baiklah. Kalau butuh apa-apa panggil saja. Aku duduk di luar," ucapnya setengah putus asa. 

Kemudian ia berjalan keluar ruangan.

Kuhembuskan napas demi melonggarkan dada yang rasanya sungguh sesak. Setitik air bening seketika mengalir di sudut mata tatkala aku memejamkannya. Kugigit bibir sembari menikmati segala kepedihan hidup yang rasanya begitu aduhai.

Ya, Tuhan. Mengapa engkau timpakan aku dengan cobaan hidup seberat ini? Aku menyerah, Tuhan. Aku benar-benar tak sanggup. Apa karena selama ini aku jauh dariMu? Bagaimana caranya agar aku bisa dekat denganMu, Tuhan? Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya mendekatiMu. 

Hidup bergelimangan harta sejak kecil membuatku tak mengenal siapa itu Tuhan.  Entahlah, orang tuaku bahkan sama sekali tak pernah mengenalkanku kepada Sang Pemilik Segalanya.

Pengetahuanku tentang Tuhan hanya sebatas pada apa yang kupelajari ketika duduk di bangku sekolah dulu. Sudah sangat lama sekali.

Ceklek!

Pintu terbuka. Mas Wira masuk bersama dengan seorang dokter lelaki serta satu orang perawat wanita. Mereka berjalan menghampiri ranjangku. Terdengar percakapan ringan yang terjadi antara Mas Wira dan Pak Dokter.

"Halo, Ibu ... apa kabarnya hari ini?" sapa dokter tersebut ramah sembari menempelkan stestoskop di dada serta perutku.

"Baik, Dok."

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang