Tujuh Belas

4.5K 314 12
                                    

Maura mematikan sambungan telepon setelah mengucapkan salam perpisahan, lalu meletakkan ponselnya di meja. Di depan gadis itu ada Thalia yang sibuk dengan laptopnya.

"Zani? Kenapa lagi tuh anak?" tanya Thalia. Walau dia sibuk dengan laptopnya tapi dia mendengar Maura yang menyebutkan nama Zani.

Maura mengangguk, kemudian meminum es jeruk peras milik. Orang yang barusan meneleponnya adalah Zani, di mana Zani mengatakan kalau tak bisa ke kampus karena sedang sakit. Ketiganya sudah janjian akan ke kampus bersama-sama hari ini. Zani yang akan bimbingan lagi sama Ezel, Maura yang juga akan bimbingan sama dosen pembimbingnya, dan Thalia yang akan menyelesaikan revisi proposal skripsinya setelah seminar proposal untuk mengambil surat izin meneliti.

"Si Zani gak bisa ke kampus, pagi sakit," ujar Maura membuat Thalia mengedipkan matanya berkali-kali, seakan tak percaya.

Jelas saja Thalia tak percaya, selama mereka berteman, Zani satu-satunya yang memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Zani bahkan jarang sakit, kena hujan deras saja dia tak sakit, tetapi Zani kini tumbang juga.

"Serius?"

Lagi, Maura mengangguk membenarkan. Dia tadi mendengar suara Zani yang begitu serak juga terdengar seperti dipaksa untuk berbicara.

"Katanya demam," ucap Maura. "Mau jenguk dia hari ini gak bisa, mau bimbingan sama dosen pertama sore nanti."

"Gue kalau ke rumah Zani selalu sama lo, 'kan gue cuma nebeng."

Thalia tinggal di kos dekat kampus, ke kampus pun gadis itu hanya jalan kaki. Kalau mau ke mana-mana, yang menemaninya hanya Zani atau Maura, tetapi lebih seringnya pada Maura dibandingkan Zani.

"Gue yakin, Zani sakit karena dia revisi mulu."

Thalia mengernyit heran mendengarnya, gadis itu bahkan menghentikan gerakannya jarinya di keyboard laptop dan menatap Maura.

"Zani terlalu menguras tenaga dan pikiran, makanya dia bisa sakit. Lo kira orang yang menguras tenaga dan pikiran secara bersamaan gak bisa sakit? Apa lagi semalam dia baru selesai revisi jam dua," tutur Maura.

Sepertinya yang dikatakan Maura benar, Zani sakit karena revisi. Terlalu sering revisi membuat orang akan sakit, apalagi jika revisinya hingga larut malam, tidur pun enggan rasanya karena memikirkan tugas akhir itu. Bahkan ada beberapa orang yang juga mengalami depresi berat karena tugas akhir itu, memikirkan revisi yang mereka tak tahu bagaimana cara membuatnya, menyebabkan jarang tidur dan berujung depresi. Parahnya lagi, ada yang sampai konsultasi ke psikolog.

"Emang udah kayak gitu, mau gimana lagi?"

Maura mendengkus kesal, lalu berkata, "Gue sebenarnya heran, proposal Zani yang rapi dan sama sekali gue liat gak ada yang cacat masih aja revisi. Gue rasa pak Ezel itu emang sengaja, dia mau buat Zani menderita. Emang gak cukup apa dulu nyakitin Zani? Kalau gue jadi Zani, gue lebih milih ganti judul yang otomatis ganti pembimbing dibanding harus bimbingan sama dosen nyebelin kayak pak Ezel."

Panjang lebar berbicara, sampai Maura tak sadar kalau orang yang dia bicarakan ada di belakangnya. Sementara
Thalia sudah melotot pada Maura yang sama sekali tak mengerti. Maura memang cuek, tak peduli dengan keadaan sekitar, sampai membicarakan orang di tempat yang bisa saja bertemu dengan orangnya. Hal itu, benar-benar terjadi, di belakang Maura ada orang yang dia bicarakan.

"Saya nyebelin juga bukan sama kamu, tapi sama Zani."

Suara Ezel membuat atensi Maura teralihkan pada orang di belakangnya. Maura menyengir lantaran orang yang barusan dia bicarakan ada di belakangnya.

"Pak Ezel, udah makan, Pak?" tanya Maura basa-basi. Gadis itu langsung bangkit dari duduknya menyilakan Ezel duduk.

Sedangkan Ezel, hanya menggeleng pelan. Sahabat Zani memang lebih bar-bar dibanding Zani.

"Zani mana?" dari pada duduk, Ezel memilih bertanya keberadaan Zani.

"Sakit, Pak." Thalia yang menjawab, karena Maura kini sudah tak berkutik di tempatnya.

"Kok bisa?" tanya Ezel lagi.

"Iya, Pak, soalnya dosen pembimbingnya nyuruh revisi mulu, jadinya Zani perlu menguras tenaga dan pikiran plus kurang tidur," celetuk Maura.

Sadar dengan apa yang dia katakan barusan, gadis itu langsung menutup mulutnya rapat dengan telapak tangannya. Sebenarnya dia hanya ingin mengucapkan dalam hati saja, tapi tak tahu kenapa malah keluar begitu saja di mulutnya.

Ezel yang mendengar terdiam, dia tak tahu kalau Zani sakit karena dia terus menyuruh revisi.

"Pak, maafin temen saya, sa—"

"Terima kasih."

Kemudian Ezel pergi meninggalkan kedua. Pria itu ingin sekali ke rumah Zani, menjenguk gadis itu serta membatunya menyelesaikan proposal skripsinya, tapi teringat kalau di kampus dia masih memiliki banyak pekerjaan yangtidak bisa ditinggal. Kalau seperti ini, Ezel malah semakin merasa bersalah pada Zani.

***

"Pak Ezel."

Ezel sudah dipanggil ketiga kalinya oleh Fina—Operator akma jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Sastra. Namun, Ezel malah tak mendengarkan, Ezel sejak tadi hanya melamun. Pikirannya saat ini berada pada Zani yang sedang sakit di rumah.

Sungguh, demi apapun, Ezel merasa bersalah karena menyuruh Zani revisi berkali-kali, hingga menyebabkan Zani sakit karena kurang tidur.

"Pak Ezel?"

Masih tak ada respon dari Ezel, pria itu masih juga memikirkan Zani. Sedangkan Fina, menyadari kalau Ezel hanya melamun, pun menggoyangkan lengan Ezel hingga pria itu tersadar dari lamunannya. Ezel pun menoleh, dia mengedip beberapa kali, kemudian menatap Fina dengan tatapan bertanya.

"Pak, ngelamuni apa, sih?" tanya Fina.

Ezel tersenyum kecil, sadar kalau kali ini dia tak profesional. Pria itu pun menggeleng pelan dan berkata, "Saya gak melamunkan apa-apa, kok."

"Oh, saya kira tadi ngelamuni apa tadi, soalnya saya panggil-panggil gak menyahut," ujar Fina tersenyum manis pada Ezel.

Matanya berbinar menatap Ezel dari samping. Sedekat ini dengan Ezel membuat jantung gadis usia dua puluh tujuh tahun itu berdegup kencang, apalagi mengingat kalau dia dan Ezel baru pertama kali sedekat ini. Ditambah dengan siku mereka berdua yang bersentuhan. Astaga, Fina merasa panas dingin.

"Gimana sama mahasiswa yang mendaftar KNN gelombang dua?" tanya Ezel mengalihkan pembicaraan. Kalau terus dibahas, yang ada dia akan semakin khawatir dengan Zani.

"Oh itu? Yang daftar sekitar tiga ratusan , mungkin masih ada yang daftar nanti. Google form-nya juga masih dibuka sampai pekan depan," jawab Fina seraya tersenyum.

Selama beberapa bulan ke depan, keduanya akan terus bersama mengurus mahasiswa KKN. Ezel sebagai ketua panitia dan Fina sebagai sekretaris panitia, jelas saja keduanya akan selalu bersama selama beberapa bulan ke depan. Hal itu juga membuat Fina bahagia, mengingat kalau dia akan selalu berdekatan dengan Ezel. Fina menjadikan itu juga kesempatan untuk mendekati Ezel lebih jauh lagi.

"Nanti jangan lupa adakan lagi rapat dengan panitia lainnya."

Fina tersenyum, lalu mengangguk kecil. Kemudian keduanya sama-sama diam, Ezel kini sibuk membuka file-file penting tentang KKN, sementara Fina hanya melihat Ezel saja.

"Makasih banyak, ya, Pak."

Ezel menoleh pada gadis di sampingnya, dia benar-benar tak mengerti dengan Fina yang tiba-tiba mengucapkan terima kasih.

"Makasih, Pak, selama ini udah bantuin saya."

Ezel diam, tetapi dia menatap mata Fina dalam. Pria itu jadi sadar, bahwa Fina pastinya memiliki perasaan lebih padanya. Ezel dapat melihat dari mata Fina, dia cukup peka melihat keadaan, ditambah lagi dengan pipi Fina yang memerah. Namun, bagaimana pun itu, perasaan Ezel hanya untuk Zani.

***

Akhirnya update lagi.

Yuhuuu mohon maaf kemarin gak update karena sibuk banget. Tapi doakan semoga nulis ini lancar jaya gak ada hambatan sampai bulan November berakhir.

Jangan lupa tinggalkan jejak yaww

Bye bye

Revisweet [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang