Tiga Puluh Delapan

4.3K 275 5
                                    

Ruangan pak Sultan lagi-lagi kosong, membuat Zani menghela napasnya. Dia tak membawa motor, ke kampus pun bersama Ezel tadi dan untuk ke rumah pak Sultan dia tak ada kendaraan sekaligus tak tahu alamat rumah sekretaris jurusan itu. Lalu Zani harus apa?

Kedua sahabatnya tak datang, membuatnya tak tahu harus meminta tolong pada siapa. Untuk pulang sebentar pun juga, dia tak terlalu berharap pada Ezel. Zani menunduk lemas, merasa tak ada yang bisa dia lakukan sekarang.

"Batal lagi," gumam gadis itu dengan nada pelan juga sangat lemas.

Zani menunduk lemah. Dia rasanya ingin menangis lantaran lagi-lagi batal seminar proposal. Gadis itu memilih duduk di kursi tunggu depan ruang dekan. Untuk sejenak, dia ingin meratapi nasibnya yang benar-benar sial.

Zani menghela napasnya panjang. Rasanya ingin menangis lantaran mendaftar seminar proposal masih juga belum selesai. Dia kira, mendaftar itu hanya sehari maka selesai, ternyata bukan hanya sehat dua hari saja, ada banyak kendala yang dia hadapi.

"Zani?"

Zani yang tadinya menunduk meratapi nasibnya, pun mendongak, menatap Ezel yang baru saja keluar dari ruang dekan. Sementara Ezel, langsung mendudukkan dirinya di samping Zani.

"Bapak ngapain duduk?" pekik Zani.

Mata gadis itu melotot melihat Ezel yang duduk di sampingnya. Hei, ini gawat, bisa-bisa orang berpikir kalau dia dan Ezel memiliki hubungan. Walau tak ada larangan untuk berhubung dengan dosen, tapi Zani tetap saja takut, apalagi mengingat Ezel salah satu dosen muda tampan idaman setiap mahasiswi.

"Kamu yang ngapain? Katanya mau ketemu sama pak Sultan." Ezel tak menjawab, malah balik bertanya pada Zani. Dan mendengar nama pak Sultan disebut, Zani jadi cemberut lantaran dosen yang dia cari itu tak ada di ruangannya, bahkan ruangannya tertutup rapat.

Gadis itu menggeleng lemah, membuat Ezel tahu kalau pak Sultan pasti tak datang. Akhir-akhir ini, sekretaris jurusan itu memang sibuk, Ezel juga tak tahu apa kesibukan pak Sultan.

"Gak datang lagi, ya?" tebak Ezel.

Walau tebakan sudah pasti benar saat dia melihat gelengan kepala Zani tadi, dia tetap saja menebak. Kemarin-kemarin pria itu sempat melihat Zani dimarahi pak Sultan, tak tahu apa salahnya, ketikan dia datang, Zani sudah dimarahi. Sepertinya Zani telah berbuat salah, karena pak Sultan tak mungkin langsung memarahi mahasiswa jika mahasiswa tersebut tak berbuat salah.

"Iya," jawab Zani pelan juga terdengar begitu lemah. Gadis itu sudah pasrah kalau di semester tujuh ini, dia tak seminar proposal.

"Mau pulang sekarang?"

Lagi, Zani menggeleng, dia malas untuk pulang. Saat ini, dia tengah menghindari mamanya, dia tak ingin masalahnya dan Ifzal malah membebani mamanya. Yah, walaupun gadis itu masih belum cerita, tetapi Zani yakin kalau mamanya pasti selalu memikirkan semua itu.

"Terus?"

Lagi-lagi Zani menggeleng, dia tak tahu harus apa.

"Mau jalan-jalan?" tawar Ezel.

Zani seketika menoleh pada Ezel. Bagaimana bisa pria itu mengajak jalan-jalan di saat dia tengah pusing memikirkan nasibnya yang gagal seminar proposal? Juga, apa pria itu tak memiliki pekerjaan di kampus sehingga mengajaknya jalan-jalan?

Seharusnya di hari Selasa ini, Ezel ada kelas, itu yang Zani tahu.

"Atau mau saya anterin ke rumahnya pak Sultan, barangkali beliau ada di sana," tawar Ezel lagi padahal tawaran tadi belum Zani tolak.

"Bapak kelas," sahut Zani membuat Ezel terkekeh geli.

"Kelas saya pagi, Zani. Sudah selesai sekitar satu jam yang lalu. Tapi ini sebentar lagi jam istirahat, bagaimana kalau kita lunch dulu?" Ezel masih memberikan Zani tawaran-tawaran yang menggiurkan.

Revisweet [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang