Delapan Belas

4.7K 335 16
                                    

Zani sendiri di rumah, sejak tadi pagi gadis itu sama sekali belum makan. Untuk berjalan ke dapur saja, dia merasa lemas. Zani tadi sudah menelepon Ifzal, tetapi sama sekali tak diangkat. Dia yakin, Ifzal pasti sibuk dengan Citra.

Zani memejamkan matanya, kepalanya pusing, badannya semuanya sakit, tenggorokannya gatal karena tak minum seharian ini, dan mulutnya juga yang terasa pahit. Untuk tidur saja, dia merasa seperti dunia berputar.

Ponselnya yang diletakkan tepat di samping bantal bergetar, Zani menghembuskan napasnya kasar, rasanya dia tak mau menggerakkan anggota tubuhnya. Tangannya bergerak, mengambil ponselnya, kemudian mengangkat panggilan yang ternyata dari Ifzal.

"Halo," sapa Zani dengan suara seraknya.

"Kenapa lagi? Kamu gak tahu kalau Citra lagi sakit?"

Zani menghela napasnya. Dia sedang tak ingin berdebat dengan Ifzal saat ini.

"Aku sakit, di rumah gak ada siapa-siapa. Bisa tolong kemari?"

Sekalipun dia sudah tahu kalau Ifzal tak akan datang ke rumahnya karena mengingat Citra yang juga sakit. Di seberang sana, terdengar suara helaan napas dari Ifzal, kemudian Zani juga mendengar suara Citra yang bertanya pada Ifzal. Ini kali pertama Zani mendengar suara Citra yang terdengar lembut.

"Kamu makan terus minum obat, habis minum obat langsung tidur. Jangan main HP mulu."

Hanya itu yang diberikan Ifzal padanya, kemudian sambungan telepon terputus. Zani tahu, Citra lebih penting daripada dirinya, tapi bisakah Ifzal memperhatikannya walau hanya beberapa menit saja. Cukup datang menjenguknya, Zani rasa itu sudah lebih dari cukup. Gadis itu kemudian menyimpan ponselnya agak jauh darinya, biar tak ada yang mengganggu. Untuk makan saja dia sama sekali tak ada niat.

Namun, baru saja matanya terpejam, ponselnya kembali bergetar dan mengganggu tidurnya. Zani bergerak, mengambil ponselnya, kemudian mengangkat panggilan telepon yang ternyata dari Ezel.

"Kamu di mana?"

Zani mengernyit heran, kemudian gadis itu melihat pada layar ponselnya, yang menunjukkan telepon tersambung pada nomor Ezel. Kenapa Ezel bertanya keberadaannya? Apa Ezel mau dia bimbingan lagi?

"Di rumah, Pak."

"Saya di depan rumah kamu, dari tadi saya ketuk gak ada yang keluar."

Zani meringis, jelas saja tak ada yang membukakan pintu, mamanya sedang berada di Makassar.

"Bapak ngapain ke rumah saya?" tanya Zani. Suara gadis itu begitu serak, untuk berbicara saja hanya dipaksakan. Tenggorokannya untuk berbicara terlalu perih.

"Mau jengukin kamu," ungkap Ezel membuat Zani seketika sedih.

Mata gadis itu memanas, bahkan rasanya ingin menangis juga. Dia tak menyangka kalau Ezel yang notabenenya mantan kekasihnya sekaligus dosen pembimbingnya itu masih peduli padanya, berbeda dengan Ifzal yang lebih peduli pada Citra.

"Pak, saya gak bisa jalan. Lemas."

Seketika, tangis Zani pecah. Begitu baik Ezel padanya sampai membuat rasa benci Zani pada Ezel berkurang sekitar dua puluh persen.

"Mama kamu mana?"

Zani kini terisak pelan, dia bahkan tersedu-sedu lantaran begitu terharu mendengar perkataan Ezel tadi.

"Gak ada, mama ke Makassar," cicit Zani membuat Ezel di seberang sana seketika semakin khawatir. Jangan bilang sejak pagi gadis itu tak makan?

"Coba bangun, terus jalan pelan-pelan. Paksain, Zani. Saya bisa saja dobrak pintu rumah kamu, tapi saya gak mau malah dituduh yang enggak-enggak nanti," tutur Ezel.

Zani pun langsung bangun dari berbaringnya. Dia bangun secara perlahan, walau rasa pusing kini melandanya, Zani memaksakan diri untuk membukakan Ezel pintu. Pelan-pelan, gadis itu berjalan menuju pintu rumah. Walau pusing, gadis itu pun sampai juga di pintu, dan langsung membukakan Ezel pintu.

Saat pintu sudah benar-benar terbuka, Ezel tanpa berpikir panjang langsung memeluk Zani erat. Jantung pria itu sejak tadi berdetak kencang, takut terjadi sesuatu dengan Zani. Bersyukur Zani baik-baik saja, walau badannya begitu panas.

"Pak," lirih Zani.

"Jangan buat saya khawatir seperti ini, Zani. Saya takut terjadi sesuatu sama kamu."

"Pak, jangan berdiri, saya gak mampu."

Mendengar itu, Ezel langsung menggendong Zani bridal style. Membawa Zani duduk di sofa ruang tamu rumah gadis itu.

"Kamu udah makan?"

Zani menggeleng lemah. Sementara Ezel, melihat Zani yang hanya menggeleng, dia mengusap wajahnya kasar. Dugaannya benar, Zani pasti belum makan sejak pagi tadi.

"Zani, kalau terjadi sesuatu sama kamu, telepon saya, saya akan membantu kamu sebisa saya," ucap Ezel mengelus puncak kepala Zani.

***

Ezel sampai malam berada di rumah Zani, dia merawat Zani yang tengah demam tinggi itu dengan telaten. Mengompres Zani, memasakkan bubur ayam untuk Zani, terakhir memberikan Zani obat serta sesekali memijat kaki Zani. Kini Zani tertidur pulas, benar-benar tertidur pulas hingga panggilan telepon di ponsel Ezel yang nada deringnya begitu nyaring tak mengganggu tidurnya.

Pegal karena terus memijat kaki Zani, Ezel pun berhenti. Pria itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar Zani. Pria itu awalnya tak ingin ke kamar Zani, tapi apa boleh buat ketika Zani meminta tidur di kamarnya. Ezel juga yakin, pastinya tak akan nyaman tidur di lantai yang hanya beralaskan karpet, pasti tubuh Zani semakin sakit. Bukannya sembuh, Zani malah semakin sakit.

Mata pria itu berhenti pada laptop Zani. Penasaran dengan proposal skripsi Zani, Ezel pun melangkah ke meja belajar Zani, kemudian menyalakan laptop Zani untuk melihat proposal Zani. Hal pertama yang dia lihat adalah wallpaper laptop Zani, gambar Zani dan kedua sahabatnya, kemudian tak ingin berlama-lama, Ezel pun membuka file proposal skripsi Zani.

Ezel mulai membacanya dengan teliti, memperbaiki sesuatu yang menurutnya salah. Sepertinya Zani sudah merevisi semuanya, maka dari itu tak begitu banyak yang Ezel perbaiki. Pria itu benar-benar merasa bersalah, karena dia, Zani jadi jatuh sakit seperti ini.

"Pak Ezel ngapain?"

Ezel yang tadinya sibuk mengetik di laptop Zani, seketika terlonjak kaget mendengar suara Zani. Dia seperti maling yang kedapatan mencuri.

"Kamu udah bangun?"

"Itu barusan pertanyaan bodoh, Pak," ucap Zani. "Bapak ngapain di laptop saya?"

Ezel pun tak menjawab, tapi dia malah mengangkat kursi juga laptop Zani untuk duduk tepat di samping ranjang Zani.

"Saya bantu kamu revisi."

Zani mengernyit heran, alisnya terangkat sebelah melihat Ezel yang tiba-tiba baik padanya. Fix, Ezel memang aneh.

"Udah selesai, kok, Pak."

"Masih ada yang perlu diperbaiki. Tapi ini tinggal dikit."

"Baik banget, sih, Pak."

Ezel tersenyum miring, lalu berkata, "Makanya balik lagi sama saya, setiap hari bakal saya bantu revisi."

Zani mencibir. Ternyata dosennya ini ada maunya, maka dari itu begitu baik dengan Zani. Zani menyesal mengurangkan rasa bencinya pada Ezel.

"Gak usah, Pak, saya udah punya pacar."

"Pacar kamu gak baik. Lebih baik saya."

"Nanti, deh, Pak. Kita balikan pas di dunia ini hanya ada satu cowok di dunia."

Perkataan Zani barusan, menunjukkan bahwa sampai kapan pun, dia tak akan pernah balikan dengan Ezel.

***

Lama yah updatenya

Semoga sukak

Jangan lupa tinggalkan jejak

Bye bye

Revisweet [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang