Dua Puluh Empat

4.1K 278 9
                                    

Ezel duduk termenung di kursinya tanpa memedulikan keadaan sekitarnya. Setelah mengantar mama Zani pulang, dia tak mampir walau sudah ditawarkan. Pria itu langsung berangkat ke kampus padahal masih pukul setengah sebelas, sementara jadwalnya di hari Senin sore pukul tiga sore.

Pikiran pria itu tertuju pada pertanyaan Afni, perihal alasan dia dan Zani berpisah, serta perihal siapa yang lebih dulu mengakhiri hubungan.

Mama Zani tahu, kalau alasan mereka putus karena sudah tak cocok dan yang mengakhiri semuanya adalah Zani. Padahal itu tak benar, yang mengakhiri hubungan mereka itu Ezel dan alasan mereka putus karena Ezel tak ingin menjalin hubungan dengan anak koruptor.

"Pak Ezel."

Bahkan, saat ada dosen yang menegurnya, Ezel sama sekali tak sadar. Pria itu pikirannya berkelana ke pertanyaan mama Zani tadi.

Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang di benak Ezel, yang jadi pertanyaan pria berusia dua puluh tujuh tahun itu, kenapa Zani berbohong? Zani bisa saja mengatakan semuanya pada mamanya, tapi Zani malah memilih untuk berbohong. Padahal kalau Zani mengatakan yang sebenarnya, mama Zani bisa saja membenci Ezel, atau mungkin lebih parahnya lagi, tak pernah mengizinkan Zani dekat dengannya.

"Pak Ezel, hari ini jadwalnya jam berapa?"

Mendengar itu, sontak Ezel langsung tersenyum, tetapi sedikit paksa.

"Kenapa, Pak Idham?" tanya Ezel. Dibandingkan menjawab asal karena tak begitu mendengar pertanyaan dosen yang posisi mejanya ada di depan Ezel, pria itu memilih untuk bertanya.

"Pak Ezel jadwalnya jam berapa? Tumben hari Senin datangnya cepat."

Pak Idham mengulang pertanyaannya, membuat Ezel berdeham kemudian memperbaiki duduknya agar nyaman.

"Kebetulan tadi ada urusan di luar, jadi langsung aja kemari," jawab Ezel.

Pak Idham kemudian manggut-manggut saja, tak lagi bertanya. Sementara Ezel kembali diam memikirkan pertanyaan mama Zani tadi. Pria itu akan menanyakan semuanya pada Zani. Dia ingin tahu, apa alasan Zani berbohong pada mamanya perihal alasan mereka putus, juga alasan Zani yang mengatakan kalau yang memutuskan itu adalah gadia itu, bukan Ezel.

***

Seharian ini, Zani tak mendengar kabar kekasihnya. Dia tahu, kekasihnya itu pasti sibuk mengurus pendaftaran seminar proposalnya, maka dari itu tadi dia tak menghubungi Ifzal. Namun, ini sudah pukul setengah empat sore, pastinya kekasihnya tengah istirahat.

Zani mengambil ponselnya di meja ruang tamu. Kemudian setelah dapat, dia langsung menelepon nomor kekasihnya.

Pada sambungan pertama, Ifzal sama sekali tak mengangkat panggilannya, kemudian gadis itu tak putus asa, dia tetap menelepon Ifzal hingga Ifzal mengangkat panggilannya.

Di sambungan telepon keempat, Ifzal baru mengangkat panggilan teleponnya, tetapi suara yang Zani dengan pertama kali merupakan suara seorang perempuan. Sepertinya kekasih Zani itu lagi-lagi bersama Citra. Pertemuan mereka pertama kali, membuat Zani langsung mengenal dengan baik suara Citra.

Mengetahui kalau sang kekasih bersama Citra, Zani terdiam cukup lama, bahkan dia sampai tak sadar kalau di seberang sana Ifzal sudah berkali-kali manggilnya. Gadis itu sebenarnya iri dengan Citra, Citra bisa bersama kekasihnya, bahkan mungkin hampir dua puluh empat jam selalu bersama kekasihnya, sementara waktu bersama untuk Ifzal sangat sulit. Minta bertemu saja susah, apalagi hanya sekadar menelepon.

"Zani, kalau kamu cuma diam aja, teleponnya aku matiin aja," ucap Ifzal di seberang sana. Nada suara pria itu terdengar begitu kesal.

Tersadar dari lamunannya, Zani pun berkata, "Eh, maaf-maaf. Aku tadi ngambil headset bentar di kamar."

Terdengar suara helaan napas dari Ifzal, sepertinya begitu lelah dengan Zani.

"Kenapa? Aku lagi dijalan, nih."

Zani berdeham kecil, lalu bertanya, "Kamu sama siapa?"

Dasar bodoh! Padahal dia sudah tahu itu siapa, tapi dia malah bertanya lagi. Zani merutuki dirinya berkali-kali bodoh.

"Sama Citra. Kenapa?"

Lagi, Ifzal bertanya alasan kekasihnya itu menelepon.

"Mau kemana emangnya sama Citra?"

Lagi dan lagi Zani merutuki dirinya bodoh. Gadis itu padahal tahu, kalau jawaban Ifzal pasti akan membawa Citra jalan-jalan atau mungkin pergi menemani Citra ke suatu tempat, dan pastinya dia akan iri karena Citra bisa membuat Ifzal mau menemaninya tanpa perlu memaksa serta membujuk Ifzal.

"Hari ini aku nyebar undangan sempro sama dospem dan penguji," jawab Ifzal.

"Kok gak bilang sama aku? 'kan aku bisa nemenin kamu," balas Zani.

"Ngerepotin, Zan. Aku gak mau ngerepotin kamu," kata Ifzal.

"Tapi kamu juga ngerepotin Citra. Kamu mau ngerepotin dia, tapi ngerepotin aku, kamu gak mau. Kenapa? Aku juga gak marah kalau kamu minta tolong sama aku," tutur Zani.

Dia ingin marah saat tahu kalau kekasihnya lagi-lagi merepotkan Citra. Padahal ada dia yang bisa membantu, yang bisa menemani, tapi yang diajak malah Citra. Zani sangat kurang berkontribusi dalam pencapaian gelar sang kekasih, parahnya lagi dia seperti tak dianggap ada. Lagi-lagi gadia itu kembali dibuat ragu dengan perasaan Ifzal padanya. Apa benar Ifzal mencintainya?

"Aku bukannya udah bilang, kalau Citra malah senang karena udah bantuin aku?"

Apa Citra senang? Begitu juga dengan Zani jika dia bisa membantu Ifzal, dia senang. Apa Ifzal tak tahu? Apa Zani perlu mengatakan secara gamblang pada Ifzal kalau dia juga senang membantu pria itu? Kenapa Ifzal tak peka akan keinginannya?

"Kamu sekali-sekali minta tolongnya sama aku, aku merasa gak ada gunanya jadi pacar kamu. Biasanya orang kalau pacaran gini, saling support," tutur Zani membuat Ifzal di seberang sana berdecak lantaran kesal mendengarnya.

"Kenapa? Kamu gak suka Citra bantuin aku? Kamu lupa, ya? Aku sama Citra udah lama kenal dibanding kamu yang kenal aku, Zani. Jadi kamu jangan cemburuan gak jelas."

Nada bicara Ifzal meninggi. Zani yakin, di seberang sana, kekasihnya sudah marah karena perkataannya. Tapi apa yang salah? Zani hanya ingin Ifzal mau meminta tolong padanya, sekalipun itu hanya hal kecil, Zani akan senang sekali.

"Aku gak cemburu," balas Zani yang tentunya berbohong. Mana mungkin dia tak cemburu saat tahu kalau kekasihnya lebih mementingkan sahabatnya dibanding Zani?

Tak ada perempuan yang tak cemburu melihat kekasihnya lebih peduli dengan sahabat perempuannya. Semuanya cemburu. Mamanya saja, cemburu dengan papanya yang ada di rutan karena ada polwan cantik yang kadang berkunjung di sana.

"Terus apa? Iri?" Zani dapat mendengar suara Ifzal yang tertawa mengejeknya, dia juga mendengar suara Citra yang menegur Ifzal untuk memperhatikan jalan.

"Sama aja, Zan. Aku 'kan udah bilang sama kamu, tolong ngertiin aku. Berkali-kali, bukan hanya sekali, tapi kamu sampai sekarang malah gak ngertiin aku."

Mengerti? Zani harus bagaimana lagi agar Ifzal tahu kalau Zani sudah benar-benar mengerti akan diri pria itu, hanya Ifzal saja yang tak mengerti dirinya, Ifzal tak tahu apa keinginannya.

"Zal, kamu beneran cinta sama aku?"

Pertanyaan Zani yang tiba-tiba membuat Ifzal semakin kesal, pria itu tak menjawab, melainkan langsung mematikan sambungan telepon. Sakit sekali rasanya, dada Zani terasa ngilu, dia tak dihargai. Sialnya, dia malah tak bisa mengakhiri hubungannya dengan Ifzal. Gadis itu sudah terlanjur cinta dengan Ifzal.

***

Kesal ya sama Ifzal?🤣

Ikutan giveaway di Instagram @huzaifahsshafia yuk, dapat novel gratis.

Jangan lupa tinggalkan jejak

Bye bye

Revisweet [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang