Dau Puluh Sembilan

4.3K 281 6
                                    

Zani benar-benar tak nyaman ditinggal berdua dengan orang gue Ezel di ruang tamu, sementara Ezel ke kamar untuk mengganti bajunya setelah melaksanakan shalat magrib di masjid. Papa Ezel hanya diam seraya menontonnya televisi dan mama Ezel sejak tadi terus bertanya kabar Zani dan orang tuanya. Sesekali gadis itu akan tersenyum kikuk ketika mamanya Ezel melontarkan lelucon.

"Tante senang kamu datang. Terakhir ketemu waktu kamu sama Ezel masih pacaran."

Lagi, Zani tersenyum kikuk mendengar penuturan Asilla. Zani paham betul maksud Ezel membawanya ke rumah pria itu. Bodohnya lagi, dia malah mau-mau saja ikut dibawa ke rumah Ezel. Jadi yang perlu disalahkan di sini Ezel atau Zani.

"Gimana sama proposal skripsi kamu? Ezel sering cerita sama Tante."

Hah? Apa lagi ini? Apa saja yang sudah diceritakan Ezel pada mamanya? Tuhan, rasanya Zani ingin menenggelamkan wajahnya di dasar laut yang paling dalam agar tak bisa bertemu dengan Ezel lagi. Di antara kedua orang tuanya, Ezel memang lebih dekat dengan Asilla, begitu juga dengan kakak-kakak Ezel yang kini sudah menikah.

"Sementara daftar seminar proposal, Tante," jawab Zani seraya tersenyum, sedikit dipaksa. Dia benar-benar tak nyaman duduk di sini. Ezel juga begitu lama mengganti bajunya.

"Nanti, kalau kamu mau bimbingan terus Ezel gak datang ke kampus, kamu ke rumah aja. Dia biasanya kalau gak ada jadwal di kampus, seringnya di rumah, cuma leha-leha juga."

What the hell?! Wah, parah, Zani di kampus kayak cacing kepanasan mencari dosen itu, tapi ternyata dosen itu lebih sering bersantai di rumah kalau jadwalnya di kampus tak ada. Parahnya lagi, tuh dosen dengan seenak jidat menyuruh Zani revisi berkali-kali, bersyukur dia sudah ada di tahap mendaftar seminar proposal. Walau begitu, masih akan ada lagi yang namanya bimbingan skripsi.

"Hubungan kamu sama Ezel gimana? Udah mulai membaik?" tanya Asilla lagi, membuat Zani semakin tak nyaman duduk di ruang tamu itu. Bahkan Zani sedikit bergerak memundurkan tubuhnya ketika perhatian Asilla tertuju pada tayangan berita di televisi, tetapi pergerakan Zani disadari oleh Noval—papa Ezel.

"Ma, kalau nanya yang masuk akal," tegur Noval.

Asilla mengernyit heran, lalu menoleh pada suaminya yang kini kembali fokus pada televisi.

"Masuk akal, kok, Pa. 'Kan aku cuma nanyain hubungan dia sama Ezel."

"Mereka udah putus."

"Itu 'kan juga karena Pa—"

"Ma," tegur Noval lagi membuat Asilla berhenti bersuara.

Tangan Noval bergerak, mengambil remote televisi, kemudian mematikan televisi. Dia menatap istrinya sejenak, kemudian beralih menatap Zani.

"Maaf, Zani, kami ke belakang dulu, mau liat mbak di belakang udah selesai masak atau belum. Ezel juga udah selesai ganti baju," ucap Noval bertepatan dengan Ezel yang turun dari tangga.

Mendengar itu, Zani bernapas dengan lega karena Ezel tiba juga serta orang tuanya akan pergi ke belakang. Namun, ada hal yang mengganjal di benak Zani, perkataan Asilla yang tadi tidak sempat dilanjutkan lantaran Noval yang menyelanya. Seperti ada hal yang berhubungan dengan Zani, tetapi Zani tak boleh tahu. Mereka menyembunyikan sesuatu dari Zani.

Kedua paruh baya itu meninggalkan Zani, sementara Ezel menghampiri Zani.

"Kita tunggu makan malam dulu, ya, baru saya anterin kamu pulang," ucap Ezel sambil mengambil duduk di samping Zani.

"Motor saya gimana, Pak?"

"Nanti saya bawa ke rumah kamu."

"Terus bayarnya berapa, Pak?"

Ezel menghela napas lelah. Dia menelepon bengkel langganannya, tak mungkin dia menyuruh Zani membayarnya. Sudah pasti yang menanggung itu semua dia.

"Saya yang tanggung, Zani," jawab Ezel

Pada dasarnya, Zani adalah orang yang tak enakan. Dia orang yang segan. Waktu pacaran dengan Ezel saja sangat jarang meminta apa-apa, karena tahu Ezel tak tanggung-tanggung membelikan dia sesuatu. Dulu Zani pernah ingin sekali makan sushi, dan Ezel mengabulkannya dengan membawa Zani ke restoran masakan Jepang yang berbintang lima.

Namun, ketika sama Ifzal, sekadar meminta waktu saja dia tak segan. Sayangnya, Ifzal malah jarang bisa memberikan waktunya pada Zani.

Kini keduanya sama-sama diam, Zani lebih memilih melihat lurus ke depan, sementara Ezel sibuk menatap Zani dalam. Sudah sangat lama pria itu tak menatap wajah Zani sedekat ini, dan di sini, di ruang tamu rumahnya, pertama kalinya dia bisa menatap wajah Zani sedekat ini setelah dua tahun pisah.

Menyadari Ezel yang terus menatapnya, Zani pun menoleh, balas menatap Ezel dengan ekspresi bertanya.

Namun, belum sempat dia bertanya perihal Ezel yang terus menatapnya, wajah Ezel semakin dekat, jarak keduanya tinggal beberapa senti. Hal itu membuat Zani menelan ludahnya susah payah.

"Pak," lirih Zani.

Setelah Zani berkata lirih, bibir Ezel mendarat di kening Zani, mengecupnya sekilas tanpa izin dari sang empunya. Jelas saja, hal itu membuat Zani marah, wajah Zani bahkan memerah akibat marah. Ifzal saja tidak pernah menciumnya, bahkan sekalipun Ifzal minta izin, Zani tak mengizinkan. Akan tetapi, Ezel malah sembarangan menciumnya. Refleks, gadis itu menampar wajah Ezel keras, menyalurkan amarahnya di sana.

"Kurang ajar. Bapak kira saya cewek gampangan? Jangan mentang-mentang saya diam, Bapak bisa seenaknya sama saya," tutur Zani dengan suara keras.

"Zan, maaf. Maaf, Zani. Saya khilaf," ucap Ezel penuh penyesalan.

"Saya benci sama pak Ezel," ungkap Zani kemudian meninggalkan Ezel.

Gadis itu keluar dari rumah bertingkat tiga itu, tanpa menunggu makan malam, tanpa meminta Ezel mengantarnya. Dia tak suka dengan Ezel yang seenaknya, dia bisa pulang menggunakan kendaraan umum. Namun, belum juga dia sampai di pintu gerbang rumah Ezel, tangannya sudah ditarik, membuat Zani memberontak karena tahu siapa orang yang menarik tangannya.

"Biar saya antara," kata Ezel pelan.

"Gak usah, Pak, yang ada, di mobil Bapak bisa melakukan hal yang lebih dari tadi. Lalu Bapak akan berdalih kalau Bapak khilaf," tolak Zani seraya menyindir Ezel.

"Saya minta maaf, saya benar-benar khilaf."

"Gak perlu, Pak."

"Zani," cicit Ezel sudah tak tahu harus apa. Pria itu mudah putus asa.

Pergelangan tangannya lepas dari genggaman Ezel dan merasa Ezel sudah tak berucap apa-apa lagi, Zani memilih untuk kembali melangkah ke luar dari pekarangan rumah Ezel yang memang begitu luas.

"Saya benar-benar minta maaf sama kamu. Ini juga hanya hal sepele, 'kan? Kenapa perlu dibesar-besarkan, Zani?"

Langkah kaki Zani terhentinya lagi, ketika dia mendengar perkataan Ezel yang menyepelekan hal tadi. Ezek bukan siapa-siapanya, jelas saja dia menyepelekan hal tersebut. Ifzal saja tak pernah menciumnya.

"Bagi Bapak yang mungkin udah sering nyium cewek, pasti bilang itu hal yang sepele, tapi beda dengan saya yang gak pernah dicium sekalipun itu hanya di kening."

Hah? Ezel terperangah mendengar pengakuan Zani. Dia benar-benar tak percaya kalau Zani belum pernah dicium. Memang dulu waktu mereka pacaran, Ezel sama sekali tak berani mencium Zani, paling-paling mereka hanya saling menggenggam. Pelukan saja tak pernah. Ezel kira, selama gadis itu pacaran dengan Zani, dia sudah pernah dicium Ifzal sekalipun hanya di kening saja.

Jadi dia orang pertama?

***

Jangan lupa tinggalkan jejak

Bye bye

Revisweet [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang