𝐎𝟐𝟔 . 𝐂𝐀𝐑𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍

2.4K 279 72
                                    

˚˖𓍢ִ໋🦢˚

— 𝐅𝐨𝐫𝐞𝐬𝐭 𝐨𝐟 𝐃𝐞𝐚𝐧, 𝟏𝟗𝟓𝟎

Teruntuk jiwa yang hebat di jagat raya, semoga engkau senantiasa mendapatkan kebahagiaan di bumi dan jangan biarkan kobaran api dalam dirimu padam sepenuhnya. Banyak atma berjiwa yang mengorbankan dirinya hanya untuk mendengar nafasmu.

Gendongan Abraxas semakin mengerat, dekapan terasa bergetar. Tubuhnya mulai melemas. Nafasnya tersendat, mencium aroma darah yang bercampur dengan keringat di ceruk lehernya. Hatinya dihantam gelombang panik yang tak terbendung.

"Aku minta maaf," lirih [Name] dalam dekapan, suaranya seakan terhisap oleh kehampaan.

"Jangan bicara," Abraxas membalas dengan suara yang hampir pecah, berusaha menahan semua emosinya.

"Maafkan aku..." suara itu lagi, kali ini lebih lemah, hampir tak terdengar.

"Ku bilang jangan bicara," Abraxas mendesak, tapi suaranya kehilangan kekuatan. Ia tahu, namun tak sanggup menerima.

Air mata mulai mengalir deras, tanpa bisa ia hentikan. Buliran-buliran nestapa itu jatuh satu per satu, mengotori pipi gadis yang berada dalam rengkuhannya. Mereka berdua terperangkap dalam momen yang terlalu menyakitkan untuk ditangisi, tetapi mustahil untuk tidak.

Lengan Abraxas, yang selalu kokoh dan kuat, kini bergetar. Rasanya tak ada lagi tenaga yang tersisa. Kehilangan ini terlalu menyakitkan, bahkan untuk dirinya yang telah berulang kali terjatuh. Dunia yang dulu terasa kokoh, kini runtuh di sekelilingnya. Ia hanya bisa berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk.

"Maaf... Darahku mengenai pakaianmu," lirih [Name], suaranya kian meredup. Ucapannya menambah luka yang dalam, seperti jarum-jarum yang menusuk hati Abraxas. Tangisan dalam hatinya pecah, menghancurkan setiap pertahanan yang tersisa.

Tidak peduli seberapa banyak darah yang mengotori pakaian mahalnya, Abraxas hanya bisa merasakan kesedihan yang mendalam, seperti warna ungu pekat yang melambangkan kesedihan abadi, tanpa ujung.

Langkahnya semakin berat, kakinya seakan tak mampu lagi menahan beban. Tetapi, ia memaksa dirinya untuk terus bergerak. Ia harus sampai ke gerbang Hiraeth. Mengapa rasanya ia tak pernah bisa sampai? Apakah dirinya terlalu kotor, terlalu berdosa untuk bisa membawa pulang gadis ini?

Abraxas hanya ingin membawa [Name] ke tempat yang aman, di mana ia yakin bisa menyelamatkannya. Hanya di Hiraeth.

Ia tidak bisa kehilangan lagi. Tidak dengan kehilangan [Name]. Tidak kali ini.

Jangan, jangan [Name], kumohon...

Di dalam dekapannya, tubuh [Name] mulai kehilangan kehangatannya. Jantung gadis itu membeku, tersisa hanya secuil detakan yang menandakan kehidupan. Sedikit lagi semuanya akan sirna. Abraxas bisa merasakan detakan terakhir yang semakin lemah, hampir lenyap.

Tubuh yang dulu begitu hangat dan penuh kehidupan, kini terasa dingin, mengkristal dalam pelukan terakhirnya.

Kehilangan yang terlalu menyakitkan, bahkan untuk seorang Abraxas.

"Nanti... ketika jiwaku kembali. Jangan pernah mengabaikan kesempatan lagi."

"I will always choose you, my destiny."

Kata-kata itu bergaung di udara yang seakan membeku, sebelum tubuh [Name] perlahan mulai memancarkan cahaya, berubah menjadi kristal yang memantulkan warna-warni pelangi. Sinar yang begitu indah, namun penuh dengan kepedihan, menyilaukan mata Abraxas yang hancur oleh kenyataan pahit di hadapannya.

Abraxas merintih, suaranya teredam oleh rasa putus asa yang menghantamnya seperti ombak. Lututnya terasa berat, seakan tak lagi kuat menopang tubuhnya. Ia terjatuh, memeluk tubuh yang kini kosong dalam dekapannya. Daksa yang dulunya hangat dan penuh kehidupan, kini hanya menjadi kristal dingin, indah, tapi tak bernyawa. Sebuah artefak dari seorang gadis yang pernah dia cintai, seorang permata yang kini hanya menjadi kenangan.

𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐀𝐃𝐌𝐈𝐑𝐄𝐑  ; 𝘋. 𝘔𝘢𝘭𝘧𝘰𝘺 𝘹 𝘙𝘦𝘢𝘥𝘦𝘳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang