Ruang kelas Kara begitu ramai setelah waktu ulangan dinyatakan usai. Banyak anak-anak yang khawatir akan jawabannya, ada pula yang bersorak gembira ketika jawaban mereka benar setelah memastikan jawaban mereka di buku paket, dan ada pula yang langsung bermain dengan teman-temannya padahal guru masih ada di depan merapikan lembar ulangan mereka. Kara termasuk golongan yang bergembira saat tahu jawaban yang tadi ia tulis beberapa ada yang benar seperti di buku paket.
Kara memandang keluar jendela di mana mulai ada murid-murid yang berseliweran karena memang sudah jam istirahat. Di kelasnya sendiri masih menunggu guru untuk mengakhiri pelajaran barulah anak kelasnya bisa bebas keluar kelas.
Dua orang siswi yang ada di depan Kara sudah menggerutu tidak jelas gara-gara guru di depan masih asik dengan lembar jawaban ulangan mereka dan tidak ada tanda-tanda mengakhiri pelajaran.
"Cacing gue udah demo! Lo denger kan suaranya."
"Emang gimana suaranya?"
"Makan makan makan saya lapar butuh asupan!"
Cewek berponi dengan rambut sebahu terkikik geli mendengar penuturan teman sebangkunya. "Coba lo bilang ke Pak Guru sana. Siapa tahu Pak Guru bersimpati."
"Mana ada bersimpati! Pak Guru mah nggak punya hati. Soal ulangannya aja sulitnya minta ampun! Gue yakin deh gue remidi."
"Jangan pesimis, ah. Yang penting kan udah usaha."
Cewek yang mengaku cacing di perutnya demo memberengut. "Usaha, gagal lagi, usaha, gagal lagi, gue capek gitu terus."
"Oke, semuanya hasil ulangan kalian akan Bapak umumkan besok. Sekarang Bapak akhiri pelajaran kita hari ini dan kalian boleh istirahat." Usai mengatakan itu Pak Guru berlalu pergi meninggalkan kelas.
Semua murid di kelas Kara berbondong-bondong keluar dari kelas, sedang Kara malah masih tetap tinggal di kursinya. Kedua siswi tadi yang asik berceloteh juga sudah pergi.
"Kara! Hayuk istirahat!" Kara mengerjap mendapati Dira datang ke kelasnya bersama Jendra.
Dira menghampiri saudara kembarnya, lalu mengapit lengan Kara dan mengajak Kara beranjak dari kursinya. "Kamu kan nggak bawa bekal jadi kita istirahat di kantin sekarang. Terus kalau si penyedap rasa ngangguin kamu biar aku yang tangani. Aku sanggup kok menendang masa depan si penyedap rasa dan membuat masa depannya jadi suram."
Jendra yang mendengar perkataan Dira jadi ngeri sendiri. Dira sangat brutal. "Tapi si penyedap rasa itu siapa?" tanyanya penasaran.
"Reiko," jawab Dira enteng.
"Reiko?"
Dira mendesis. "Udah ketahuan lo nggak pernah bantu ibu lo masak makanya nggak tahu nama penyedap rasa. Reiko itu hampir sama kayak Royco!"
Jendra mengidikkan bahunya. "Emang nggak pernah kok."
Kara dapat menangkap perubahan raut wajah Jendra yang berubah sendu. Namun, cowok itu segera kembali merubah raut wajahnya menjadi biasa. Kara meraih lengan seragam Jendra dan menarik tangan Dira membuat mereka berjalan beriringan.
"Kenapa nggak bawa bekal, Kar?"
"Bahan makan di rumah habis. Bunda lupa belanja dan Ayah lupa ngingetin Bunda. Terus aku sama Kara nggak terlalu peduli sama itu kecuali kalau kita udah benar-benar kelaparan. Dan bahan makan di rumah habis itu juga kamu turut andil di dalamnya!" Dira menunjuk Jendra.
"Gue?" Jendra menunjuk dirinya sendiri dengan tampang bingung.
"Ckck, dasar manusia tidak tahu diri. Kamu kan ikut makan bekalnya Kara!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karadira (Selesai) ✓
Teen FictionBagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jendra tidak ada bedanya saat dia memperjuangkan mimpinya sendiri ataupun membiarkan Andra mengorbankan...