Andra menuruni tangga menuju lantai satu rumahnya tatkala mendengar keributan di bawah. Setahunya di rumah hanya ada dirinya dan Jendra yang sedang leyeh-leyeh di ruang keluarga sembari menonton televisi. Segila-gilanya Jendra tidak mungkin juga Jendra ribut dengan dirinya sendiri kayak tidak ada orang lain saja yang diajak ribut padahal kan ada dirinya.
Plak
Mata Andra membelalak ketika Mamanya menampar pipi adiknya. Ia mempercepat langkahnya.
"Kamu gemar sekali membuat masalah! Udah begitu kamu sembunyikan dari Papa sama Mama seolah-olah kamu nggak ngerasa bersalah sama sekali. Dan kamu." Mama menunjuk Andra yang sudah sampai di sisi Jendra. "Bisa-bisanya kamu menyembunyikan kesalahan Adik kamu!"
"Ma-"
"Kenapa kalau buat masalah kamu hebat banget, Jendra! Tapi kenapa kamu kayaknya susah banget buat Mama sama Papa bangga! Kamu itu pemberontak! Terus alasan kamu berkelahi di sekolah itu apa? Sampai-sampai kamu di skorsing!" Mama memotong ucapan Andra sebab tahu yang akan diucapkan Andra hanya pembelaan untuk Adiknya.
Selama Mama terus memarahinya yang dilakukan Jendra hanya menunduk. Ia akui, ia memang takut dengan Mama. Kalaupun ia memberontak ketika Mama sedang marah ia hanya membuat suasana menjadi keruh.
"Jawab Mama, Jendra!" Mama menggoyangkan bahu Jendra.
"Dia yang mulai duluan, Ma," jawab Jendra.
"Terus kamu balas pakai otot juga?! Bodoh kamu! Harusnya kamu nggak kepancing begitu saja. Sekarang dengan kamu berkelahi sama dia kamu dapat apa?! Jangan malu-maluin Mama sama Papa terus, Jendra."
Andra mengusap wajahnya kasar. Kemarahan Mama itu tidak seperti kembang api yang meledak-ledak sebentar lalu reda. Selain itu Mama akan selalu mengungkit kasalahan yang dibuat anaknya. Di posisi ini rasanya Andra jadi serba salah, ia ingin membela Jendra, tapi membuat Mama mendengarkannya juga tidak mudah.
Mama mendengus. "Siap-siap kamu berhadapan sama Papa nanti malam." Usai mengatakan itu Mama beranjak menuju kamarnya.
Andra menepuk bahu Jendra. "Maaf," ucapnya.
Jendra mengerjap menatap Abangnya kemudian helaan napas keluar dari mulutnya. "Jendra udah gede Abang nggak perlu belain aku terus-"
"Dengar kata Adik kamu yang sangat pintar itu, Andra," sahut Mama yang sudah kembali sembari membawa berkas. Mama menatap kedua anaknya sebelum pergi keluar dari rumah.
"Oke, aku lanjutin. Jendra udah gede Abang nggak perlu belain aku terus. Lagi pula aku udah terbiasa. Dan jangan laporin apapun yang terjadi hari ini sama Kara."
"Mama tahu dari mana kamu di skors? Kamu tahu dari mana Abang kalau Abang sering laporin tentang kamu ke Kara?"
"Tadi Mama balik lagi ke rumah buat ambil berkas yang ketinggalan terus lihat aku yang leyeh-leyeh di sofa dan Mama mulai introgasi aku kenapa nggak sekolah. Adalah, pokoknya jangan laporin-laporin lagi soal aku ke Kara, oke? Sebentar lagi juga aku udah balik sekolah. Aku mau ke kamar dulu mau tidur." Jendra pergi ke kamarnya sembari mengusap pipinya yang tadi di tampar Mama. Rasanya masih nyeri tapi rasa nyeri itu tidak sebanding apa yang dirasakan oleh hatinya.
Melihat Adiknya yang sudah pergi Andra hanya bisa menghembuskan napas. Ia yakin Adiknya pasti akan mengurung diri di kamar. Selalu seperti itu.
•••
Diandra Hartigan: Aku ada di depan sekolah kamu. Bisa kita ketemu? Sebentar saja.
Kara mendengus setelah membaca pesan dari Andra. Ia kira tidak Andra tidak akan menghubunginya lagi setelah aksi pengabaiannya waktu Andra mengantarnya pulang waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karadira (Selesai) ✓
Ficção AdolescenteBagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jendra tidak ada bedanya saat dia memperjuangkan mimpinya sendiri ataupun membiarkan Andra mengorbankan...