Bab 45 (Tamat)

63 6 3
                                    

Makanan dan minuman yang ada di meja Dira dan Jendra sudah ludes, Jendra bahkan sudah pesan minuman dua kali. Belajar memang menguras banyak energi. Hari ini Dira dan Jendra janjian belajar bersama untuk menghadapi SBMPTN yang sebentar lagi akan diadakan. Mereka sama-sama tidak di terima di Universitas Negeri Jakarta jurusan seni musik lewat jalur SNMPTN, apalagi Jendra yang dari jurusan MIPA di SMA-nya. SBMPTN satu-satunya jalan yang mereka punya karena mereka sepakat tidak akan mengikuti ujian mandiri.

Walaupun mereka nanti tidak lolos SBMPTN mereka sudah memiliki universitas swasta yang akan mereka tuju. Sebentar lagi Jendra akan bekerja di Kafe milik teman Andra jadi ia tidak terlalu membebankan uang kuliahnya kepada Papa, setidaknya ia masih memiliki uang saku hasil jerih payahnya sendiri. Dan Kafe milik teman abangnya itu adalah Kafe yang sedang ia dan Dira kunjungi. Di Kafe ini nanti ia akan bekerja sebagai penyanyi yang akan tampil di malam hari dan siangnya ia bisa menjadi waiter, tetapi ia harus menyesuaikannya dulu dengan jadwal kuliahnya nanti.

Sudah seminggu juga Kara meninggalkan Jakarta dan Dira masih berkecamuk dengan perasaan sedihnya. Namun, untunglah kegiatan belajar sedikit mengalihkan pikirannya. Jendra juga sering kali menghiburnya, cowok itu sering kali datang ke rumah dan meramaikan suasana rumah yang sedikit menjadi sepi sejak Kara pergi. Tidak hanya Dira yang hanya mensyukuri kehadiran Jendra, tetapi Bunda juga. Melihat Jendra yang sangat lahap memakan masakannya membuat Bunda senang.

"Gue seneng lihat muka bete lo gara-gara belajar daripada mikirin Kara mulu," kata Jendra.

"Aku harus membiasakan diri. Kara juga selalu chat aku setiap malam udah kayak pacar aja." Dira terkekeh, mengingat isi chat Kara. "Kamu tahu Kara bilang apa?"

Jendra menumpukan kepalanya di atas tangannya yang ada di atas meja untuk menatap Dira yang sedang bercerita. "Bilang apa?"

"Nggak pa-pa kamu tidak mimpi indah atau tidak memimpikan apa pun, Dira, yang penting kamu bisa tidur dengan nyenyak."

"Jadi lo benar-benar tidur nyenyak?"

Dira menggeleng. "Kara mengusik tidurku!"

"Harusnya Kara bilang gini, ya, 'Jangan melulu mikirin aku, Dira, kamu harus tidur nyenyak dan fokus mikirin diri kamu sendiri'."

"Aku masih mengusahakannya." Sebuah senyum tersungging di wajah Dira, kali ini bukanlah senyum yang di paksakan. Itu sebuah senyum tulus yang kini sudah bisa kembali tersungging di wajah Dira.

"Gue seneng dengernya. Tapi bener lo mulai sekarang harus mikirin diri lo sendiri, Dir. Gue ngomong gini bukan berarti menyuruh lo jadi seorang yang egois, ya. Gue cuman ingin lo fokus sama diri lo dan tujuan lo."

"Aku ngerti kok. Kenapa kamu tiba-tiba bijak gini? Habis nonton video motivasi, ya?"

"Sebenarnya gue bijak dari dulu lo aja yang nggak tahu!"

Dira mengangguk. "Percaya kok."

Jendra tertawa. Raut wajah watados Dira benar-benar lucu baginya.

Dira menunggu sampai tawa Jendra reda sebelum akhirnya ia berkata, "Kamu nggak akan pergi kan? Sekarang memang aku sedang mengusahakan semuanya, mengusahakan agar tidak khawatir berlebihan sama Kara, menerima fakta bahwa Malvin pergi ke London, dan menerima perihal semua orang akan datang dan pergi. Tapi kalau kamu tiba-tiba pergi setelah kamu jungkir balik buat hibur aku sama Bunda kamu benar-benar keterlaluan, Jendra."

"Bilang aja lo takut kehilangan gue!"

"Aku serius. Kita tidak bisa memaksa untuk seseorang tetap tinggal padahal di lain sisi kita tidak pernah menginginkan mereka pergi."

"Dir, sini deh!" Jendra mencondongkan tubuhnya ke tengah meja.

Tanpa protes Dira menurut ikut condong ke tengah meja. Mereka berhasil mengikis jarak di antara mereka.

Karadira (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang