Orang-orang di rumah Eyang segera membubarkan diri usai sarapan untuk bersiap-siap pergi ke pantai Parangtritis. Bukan hanya keluarga Kara yang akan pergi ke sana, tetapi keluarga Mbak Ismi juga. Pagi-pagi sekali Paklik dan Bulik datang ke rumah Eyang, tentu saja Mbak Ismi yang memberitahu kalau Kara sekeluarga sudah ada di rumah Eyang sejak semalam.
Eyang menepati ucapannya memasak berbagai macam makanan untuk sarapan. Wajah bahagia terpancar di wajah Ayah menyantap makanan buatan Eyang, Ayah terlihat sangat merindukan masakan Eyang.
Berbeda dari anggota keluarga lain yang sedang bersiap-siap pergi ke pantai Eyang malah pergi ke kamarnya mengambil perlengkapan dan alat rajutnya, ia akan melanjutkan merajut sweater untuk kedua cucunya yang tadi malam datang. Eyang juga sudah bilang tidak ikut ke pantai kepada Ayah.
Di kursi panjang di bawah pohon mangga yang tumbuh besar dan rimbun Eyang duduk di sana. Merajut di pagi hari sangatlah menyenangkan untuknya apalagi matahari belum menyengat dan udara masih sangat sejuk.
Kara menghampiri Eyang karena melihat Eyang duduk di bawah pohon Mangga dan tidak ikut bersiap. Tanpa meminta izin lebih dulu Kara langsung duduk di samping Eyang.
"Loh kamu kenapa di sini? Udah siap-siapnya?"
Dengan menggunakan bahasa isyarat Kara berkomunikasi dengan Eyang.
"Eyang kenapa nggak siap-siap juga? Eyang ikut ke pantai kan?"
"Eyang ndak ikut, Kara. Eyang mau lanjut ngerajut sweater buat kamu aja biar besok kalau kamu balik bisa kamu bawa pulang. Punya Dira sudah jadi ini." Eyang menyerahkan sweater berwarna biru laut kepada Kara. "Punyamu warna putih ndak papa kan?"
Kara menggeleng.
"Kara suka warna putih. Abu-abu juga."
"Kapan-kapan Eyang buatin warna lain. Atau kamu belajar ngerajut sama Eyang? Ah, tapi anak muda kadang nggak telaten kalau belajar ngerajut. Terus kayak Mbakmu itu bilang malah ngerajut itu hanya dilakukan sama nenek-nenek."
"Dengan senang hati Kara akan belajar ngerajut sama Eyang. Kalau sama Eyang semua hal akan menjadi menyenangkan. Jadi Eyang beneran nggak ikut ke pantai?"
"Ndak, takut masuk angin juga. Eyang gampang masuk soalnya, tanya aja sama Mbak Ismi udah berapa kali kerokin Eyang." Eyang terkekeh usai mengatakan itu.
"Kalau gitu Kara nggak ikut juga aja dan belajar ngerajut sama Eyang."
Setelah mengatakan itu Kara pergi ke dalam rumah dan bilang ke Ayah dan Bunda kalau tidak ikut pergi ke pantai seperti yang sudah direncanakannya bersama Dira.
Ayahnya tidak keberatan dan Bunda hanya mengikuti keputusan Ayah saja.
"Ayah nggak yakin kalau Dira nggak marah sama kamu, Kara. Ini kan rencana kalian berdua." Ayah mengusap puncak kepala Kara. "Bicara sama Dira sana."
Seperti dugaan Ayah Dira tentu saja marah. Namun, kemarahan Dira dapat diredam oleh Kara dengan iming-iming janji bahwa nanti sore akan ikut jalan-jalan sekitar Malioboro, setiap mereka ke Jogjakarta Malioboro adalah tempat yang selalu mereka kunjungi.
"Belajar ngerajutnya kan bisa besok, Kar. Besok kan kita bakal quality time sama Eyang sepenuhnya sebelum pulang." Dira masih bersikeras meski tidak semenggebu-gebu tadi.
"Aku mau besok kita bersenang-senang bersama Eyang. Aku tidak mau nanti perhatian Eyang hanya tertuju padaku gara-gara aku mau belajar merajut. Ada Ayah yang perlu mengobrol dengan sepuasnya dan menuntaskan perasaan rindu, Ada Bunda yang akan bicara dengan Eyang tentang resep-resep masakan baru, dan ada kamu yang akan diajak Eyang bergosip sambil mengulek bumbu rujak manis. Dan, yah, belajar sehari merajut tidak akan membuat aku langsung bisa dan lancar merajut, aku bukan bocah ajaib."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karadira (Selesai) ✓
Teen FictionBagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jendra tidak ada bedanya saat dia memperjuangkan mimpinya sendiri ataupun membiarkan Andra mengorbankan...