Kara dan Dira membuka kamar mereka dengan perasaan senang. Bersamaan mereka menghempaskan diri mereka ke kasur setelah meletakkan belanjaan mereka di lantai.
Kedua sudut bibir mereka melengkung sempurna ke atas menunjukkan seberapa besar rasa bahagia yang sedang mereka rasakan. Bagaimana mungkin mereka tidak bahagia setelah ditraktir Mbak Ismi makan-makan seusai mereka berjalan-jalan di Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Alun-Alun Utara.
Mbak Ismi mentraktir mereka bukan tanpa alasan, Mbak Ismi baru jadian dengan seorang laki-laki yang sudah Mbak Ismi taksir dari SMA. Kata Mbak Ismi laki-laki yang ditaksirnya itu sangat tidak peka dengan perasaannya hingga membuat mereka tidak kunjung meresmikan hubungan. Mbak Ismi juga engan untuk mengutarakan perasaan lebih dulu.
Di Malioboro tadi Kara dan Dira membeli beberapa jajanan dan tidak lupa untuk berfoto-foto. Di benteng Vastenburg mereka hanya sebentar karena hanya berfoto-foto dan melihat-lihat. Di alun-alun Utara mereka beristirahat setelah berjalan-jalan. Di alun-alun Utara juga tidak kalah menarik sebab juga terdapat spot foto yang menarik.
Ketika akan kembali ke rumah Eyang mereka bertiga, mereka berjalan-jalan hanya bertiga karena para orang tua tenaganya sudah terkuras seusai bersenang-senang di pantai Parangtritis tadi, menyempatkan diri mampir ke Pasar Berigharjo untuk membeli oleh-oleh dan juga titipan Ayah dan Bunda.
Dira paling banyak membeli oleh-oleh karena dia akan membagikannya ke anak-anak band juga beberapa temannya. Kara sendiri hanya membeli oleh-oleh untuk Jendra, Andra, Reiko, Reta dan Malvin. Awalnya ia ragu akan membelikan Malvin oleh-oleh tapi Dira mengatakan jangan ragu-ragu untuk memberikan sesuatu kepada Malvin sebab Malvin sangat menyukai barang gratisan padahal cowok itu punya banyak duit, Malvin terlahir dari keluarga yang kaya ditambah dia hanya anak tunggal. Bisa dibilang hidup Malvin sangat makmur.
"Umur Mbak Ismi sama kita cuman terpaut tiga tahun kan, ya?"
Kara mengangguk. Karena umur mereka tidak terpaut jauhlah mereka bisa dekat. Mbak Ismi tidak hanya menganggap mereka adik sepupu tapi juga teman.
"Nanti kalau kita jadian sama cowok yang kita suka apa kita akan mentraktir Mbak Ismi juga? Kayaknya akan sangat menyenangkan. Kamu sama Kak---"
Dira mengatupkan bibirnya tidak melanjutkan perkataannya. Hampir saja ia mengacaukan rencana Kak Andra.
Kara mengernyit bingung karena Dira menggantungkan ucapannya.
"Kak? Siapa?"
"Ah, Oh kamu masih sering chating sama Kak Andra?"
Kernyitan Kara semakin dalam. Apa hubungannya mentraktir Mbak Ismi kalau mereka sudah jadian sama cowok yang dia dan Dira taksir dengan Kak Andra?
"Selama liburan ini Kak Andra tidak pernah menghubungiku sama sekali. Kenapa?"
Dira menggeleng. "Nggak pa-pa. Ya udah aku mau ganti baju terus tidur."
Kara bangkit dan melihat Dira yang beranjak keluar dari kamar setelah mengambil baju ganti. Dia masih tidak mengerti maksud Dira.
•••
Pelukan antara Ayah dan Eyang menjadi pelukan terakhir sebelum Ayah sekeluarga pulang kembali ke Jakarta. Eyang menunjukkan senyumnya meski semua orang bisa melihat sudut mata Eyang yang sudah berair.
Pelukan Ayah dan Eyang cukup lama tapi mereka cukup tahu bahwa dua hari saja tidak sepenuhnya mengobati rasa rindu yang Ayah miliki selama berjauhan dengan Eyang. Kara, Dira, dan Bunda membiarkan Ayah memeluk Eyang sepuasnya.
Mereka tidak kembali ke Jakarta dengan tangan kosong, selain mereka membawa oleh-oleh setiap orang membawa sesuatu hal yang baru pulang. Seperti Ayah yang meringankan rasa rindu yang selama ini dia tanggung dengan mengobrol bersama Eyang berjam-jam, Bunda yang mendapatkan resep baru dari Eyang, Dira yang menceritakan kepada Eyang perihal kegemaran bernyanyi juga rencananya yang ingin membuat lagu sendiri dan mendapatkan dukungan dari Eyang, dan Kara yang sudah menumpahkan gundahnya pada Eyang meski belum menemukan keputusan yang jelas, tetapi Eyang tidak menyuruhnya buru-buru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karadira (Selesai) ✓
Teen FictionBagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jendra tidak ada bedanya saat dia memperjuangkan mimpinya sendiri ataupun membiarkan Andra mengorbankan...