Bab 31

23 8 0
                                    

Tandai kalau ada typo, ya.
Di bab sebelumnya aku banyak banget typo pas aku revisi dan banyak sekali salah sebut nama.
Terima kasih.

•••

Jendra menutup pintu kamarnya. Dia menghela napas sembari mengacak-ngacak rambutnya. Di keluarkannya undangan dari sekolah yang berisikan pengumuman pengambilan rapor dari saku hoodie-nya kemudian ia lempar ke meja belajarnya yang masih berantakan, ia masih malas untuk membereskan kekacauan yang ada.

Hari ini ia makan malam di rumah dan ia sengaja melakukan kegiatan itu yang beberapa hari terakhir ia lewatkan. Jendra melakukan itu supaya bisa memberikan undangan kepada Papa, tetapi sangat disayangkan semuanya gagal total.

Di meja makan Papa terus saja membahas ketololanya karena tidak pernah menuruti nasehat Papa, tapi lebih tepat disebut kemauan Papa, dan ia hanya diam tanpa perlawanan seperti biasanya ia tidak ingin membuat kekacauan baru di saat kekacauan lainnya belum ia bersihkan. Tidak hanya itu Papa juga tidak berhenti membandingkannya dengan Andra, seolah-olah belum puas menguji kesabaran Jendra Papa juga mengungkit-ungkit pengorbanan Andra.

Seperti biasanya Andra akan berusaha membelanya bahkan tadi ia sempat melihat raut wajah Kakaknya itu khawatir ketika Papa mulai membahas pengorbanan yang telah dilakukannya. Tentu saja Andra tidak ingin ia tahu soal itu namun sangat disayangkan semuanya sudah terbongkar dari lama.

Lebih memuakkan lagi bagi Jendra ketika melihat Mama tidak terusik oleh kicauan Papa dan tetap santai menyantap makanannya. Mama adalah Mama.

Akhirnya Jendra tidak jadi memberikan undangan itu kepada Papa, suasananya sangat tidak mendukung. Harusnya yang mengambil rapor adalah Andra karena dari dulu seperti itu, sudah menjadi kebiasaan. Namun, berhubung ia dan Andra belum ada titik terang dan gengsi juga meminta Kakaknya untuk mengambil rapornya akhirnya ia memilih tidak meminta tolong seperti biasanya.

Makan tuh gengsi. Jendra menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dia kembali mengacak-acak rambutnya berharap dengan begitu ia menemukan jalan keluarnya.

"Bodoamatlah! Gue ambil sendiri aja tuh rapor kapan-kapan!" Jendra mendengus.

Ketukan di pintu menginterupsi Jendra. Pintu terbuka menampilkan sosok Andra. Mereka saling bertatapan beberapa detik dilingkupi suasana cangung.

Jendra berdehem. "Masuk aja."

Andra masuk dan langsung duduk di kursi meja belajar milik Jendra. Dia menatap meja belajar adiknya yang tidak karuan, tidak hanya di meja belajar tapi juga di lantai dan ranjang. Matanya menyipit mendapati sebuah undangan yang terlihat tidak asing di antara buku-buku Jendra. Senyumnya terbit mengetahui undangan apa itu. Ia membuka undangan itu untuk mengetahui tanggal acara yang tertera di sana.

"Abang akan datang. Nggak sabar lihat hasil kamu begadang beberapa hari terakhir."

"Kalau Abang sibuk aku bisa ambil sendiri."

"Abang nggak sibuk."

Jendra tidak lagi membalas perihal itu. Ia menatap langit-langit kamarnya yang warnanya sudah pudar dan terlihat menyedihkan. "Aku udah tahu semuanya, Bang, bahkan sebelum Ayah bilang kayak tadi."

"Jadi kamu marah dan nggak pernah mau ketemu dan bicara sama Abang karena kamu sudah tahu semuanya?" Sekarang Andra tahu kenapa Adiknya itu terus menerus menghindarinya.

"Bukan cuman marah tapi kecewa, sedih, bingung, malu dan banyak lagi. Aku marah sama Abang yang ambil keputusan sendiri tanpa mikirin aku ataupun diri Abang sendiri, aku kecewa sama diri aku sendiri karena nggak bisa memperjuangkan mimpiku sendiri, aku sedih Abang mengorbankan kebebasan Abang demi aku, aku bingung harus milih antara Abang atau mimpiku sendiri, aku malu ketemu Abang."

Karadira (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang