Bab 09

54 13 0
                                    

Kara menuruni tangga di rumahnya sambil membawa novel yang tadi dibelinya. Di dapur sudah ada Bunda yang sibuk dengan alat-alat masaknya. Bunda dan Ayah sudah pulang tadi sore karena kondisi Nenek juga sudah membaik. Anak-anak nenek yang lain juga semua datang menjenguk.

"Tumben Dira belum pulang," ujar Bunda.

Ayah yang berjalan keluar dapur menyahut, "Kata Kara Dira ada tugas kelompok."

"Oalah."

Kara berpapasan dengan Ayah. Ayah mengusap rambut Kara. "Mau ke ayunan, ya?" Kara mengangguk.

"Ya udah Ayah ikut."

Akhirnya Kara duduk di Ayunan bersama Ayah dan tidak jadi membaca novelnya karena dia lebih memilih mendengarkan cerita dari Ayah mengenai kesehatan nenek. Selain menceritakan kondisi nenek Ayah juga bercerita tentang anak-anak nenek lainnya yang pada datang. Bukan hanya itu cucu-cucu nenek juga berkumpul kemarin di rumah nenek dan kata Ayah hanya dirinya dan Dira yang datang.

"Kamu pingin jenguk nenek juga nggak?" tanya Ayah.

Kara mengangguk. Dia memang sangat ingin menjenguk nenek, waktu Bunda di kabari Tante Irma kalau darah tinggi nenek kambuh ia sangat khawatir. Bagaimana ia tidak khawatir nenek sudah tua dan hanya nenek yang masih di miliki Bunda sebab Kakek sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Namun, walaupun ia tahu kehadirannya tidak diinginkan oleh nenek ia tetap akan menjenguk nenek.

"Gimana kalau hari Minggu? Kita ke rumah nenek bareng-bareng." Lagi-lagi Kara hanya mengangguk.

"Kara, kamu tahu kan Ayah sangat sayang sama kamu. Jujur saja sebenarnya Ayah enggan bawa kamu ke rumah nenek atau ajak kamu kumpul dengan keluarga Bunda. Ayah selalu sedih setiap kamu tidak dihiraukan oleh mereka padahal kamu keluarga mereka juga." Ayah mengelus rambut Kara. "Tapi Ayah bangga sama kamu karena kamu bisa menghadapi mereka."

"Sudah delapan belas tahun, Yah. Kara sudah biasa. Ayah jangan sedih nanti Kara ikut sedih." Kara membalas dengan bahasa isyarat.

Meskipun keluarga Bunda dan beberapa Keluarga Ayah belum bisa menerimanya Kara tidak apa-apa sungguh. Dia tidak butuh penerimaan orang lain untuk menjalani hidupnya menjadi lebih baik. Lagi pula Ayah dan Bunda merawatnya tanpa membeda-bedakannya dengan Dira. Ayah dan Bunda tidak pernah mengistimewakannya karena kekurangannya, dan Ayah dan Bunda tidak pernah mengistimewakan Dira karena kemampuan Dira yang lebih baik darinya.

Yang paling Kara sukai dan senangi dari Ayah dan Bunda adalah mereka tidak pernah memberinya tatapan kasihan dan prihatin padanya.

Kara sadar betul mungkin ketika merawatnya Ayah dan Bunda memiliki kesulitan yang tidak pernah dibagi dengannya. Dia juga sadar kadang kala kekhawatiran selalu menggerogoti kedua orang tuanya. Seperti keputusan yang dia ambil dua tahun lalu yang berhasil membuat kekhawatiran Bunda meledak.

Walaupun begitu menurut Kara Ayah dan Bunda benar-benar sudah merawatnya dengan baik.

"Kamu benar-benar sudah dewasa, Kara. Padahal Ayah takut kamu semakin dewasa dan tidak lagi membutuhkan Ayah. Kenapa kamu dan Dira tumbuh sangat cepat? Rasanya baru kemarin Ayah mengganti popok kalian, melerai kalian ketika rebutan permen, dan menemani kalian tidur kalau mati lampu."

"Manusia itu akan selalu tumbuh dan menjadi dewasa, Ayah. Tapi walaupun Kara dewasa pasti Kara masih membutuhkan Ayah di sisi Kara. Tidak mungkin Kara tidak membutuhkan Ayah sekalipun Kara dewasa. Ayah masih ingat pertama kali Kara bisa bahasa isyarat? Waktu itu Kara sangat senang tapi pas Kara sadar tidak ada yang mengerti bahasa isyarat di keluarga kita Kara jadi sedih. Tapi ternyata Ayahlah yang mengerti apa yang Kara ucapan dengan bahasa isyarat jadinya Kara tidak lagi sedih. Meskipun dunia tidak tahu apa yang ingin Kara ungkapan Kara tidak pernah khawatir karena Kara yakin masih ada Ayah yang mengerti Kara."

Kara dapat melihat selaput bening yang menutupi mata Ayah. Ayah mengusap matanya. Menyembunyikan tangis dari putrinya. Apa semua Ayah begitu? Selalu menyembunyikan sedihnya dari anak-anaknya agar anaknya tahu bahwa mereka mempunyai superhero yang hebat yang akan melindungi mereka?

Bagi Kara Ayah memang sosok superhero yang hebat sedang Bunda adalah Ibu peri yang baik hati. Kara memiliki dua orang tua yang sempurna. Kara bersyukur karena itu.

Tuhan memberikan kekurangan dengan membuatnya tidak bisa berbicara tapi Tuhan menitipkannya pada Ayah dan Bunda yang menyayanginya. Tuhan memberikan keluarga yang hangat, yang selalu ada untuknya, dan yang melindunginya.

Kara memeluk Ayah seerat yang dia bisa. Ayah meletakkan dagunya di atas kepala Kara sedang tangan Ayah mengusap punggung Kara. "Ayah senang dapat memelukmu hari ini. Setiap Ayah memelukmu juga Dira selalu mengingatkan Ayah akan delapa belas tahun yang lalu saat pertama kali Ayah memeluk kalian. Waktu itu kalian sangat kecil dan sekarang sudah tumbuh menjadi anak Ayah yang paling cantik."

"Kara juga sangat berterima kasih atas pelukan yang selalu Ayah berikan," batin Kara.

"KOK PELUK-PELUKAN NGGAK AJAK-AJAK DIRA!" Dira yang baru datang langsung menghamburkan pelukannya pada Ayah dan Kara.

"Bunda nggak diajak juga nih?" Bunda menghampiri mereka lalu ikut berpelukan.

Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan sebelum akhirnya melepaskannya. "Makan malam sudah siap," ujar Bunda.

"Yah, Dira habis makan tapi gas lah!" Dira mengandeng tangan Bunda ketika berjalan masuk kedalam rumah.

Ayah berjalan bersisian dengan Kara. Tangan mereka saling bertaut. Hangat tangan Ayah membuat Kara sangat nyaman.

Kara waktu kecil selalu membayangkan seorang pangeran yang akan mendampinginya nanti. Namun, semakin besar bayangan itu terhapus oleh realita yang harus Kara terima.

Ya, mungkin akan ada seseorang yang menerimanya apa adanya. Tapi Kara tak ingin terlalu berharap. Terlalu banyak memupuk harapan sama saja membuat kekecewaan menjadi subur nantinya.

Belum tentu hidupnya akan seperti alur novel yang sering kali Kara baca. Biasanya di novel atau cerita wattpad yang ia baca seorang gadis yang biasa saja bisa menjalin hubungan dengan seorang pria yang luar biasa. Namun, semua itu hanya fiksi. Di dunia nyata hal seperti itu jarang sekali terjadi.

Tapi Kara merasa sangat beruntung karena memiliki cinta pertama yang sangat menyayanginya bahkan mengerti bahasa yang digunakannya. Ayah. Ayahlah cinta pertamanya. Kara menatap Ayah dari samping sembari tersenyum.

Makan malam itu mereka habiskan dengan hangat ditambah cerita Ayah dan Bunda saat masa muda yang tidak pernah bosan Kara dan Dira dengarkan. Apalagi kisah cinta Ayah dan Bunda menurut mereka sangat manis. Tidak ada banyak drama yang harus dilewati Ayah untuk mendapatkan Bunda. Tapi proses Ayah dan Bunda untuk menapaki jenjang yang lebih serius itulah yang membuat manis. Di mana Ayah yang harus giat belajar agar bisa cepat lulus kuliah dan mencari kerja tapi tidak pernah melupakan Bunda ditengah kesibukannya juga Bunda yang selalu mendukung Ayah.

Ayah dan Bunda adalah pasangan yang hebat.

Dira menginginkan memiliki kisah cinta yang begitu manis seperti Ayah dan Bunda begitu pula dengan Kara.

Hanya saja Dira mungkin saja lebih mudah mendapatkannya dibanding dengannya, itulah yang dipikirkan Kara. Sebab, Kara harus berdamai dengan realita dan juga kisah cintanya.

Bersambung...

Terima kasih sudah membaca bab ini. Nantikan bab selanjutnya, ya:)

Karadira (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang