Bab 43

22 5 0
                                    

Hari demi hari berlalu. Ujian sudah berlangsung dengan lancar. Namun, Kara merasa ia tidak mengerjakan ujian dengan maksimal sebab pikiran sedang terbelah. Ia belum mendapatkan izin dari kedua orang tuanya dan Dira dan itu membuatnya cemas.

Ayah tidak pernah membahas sekalipun perihal keputusan yang sudah ia buat. Bahkan Ayah tidak membahas ia dan Dira yang sedang tidak akur, seolah-olah Ayah mengerti semuanya. Ayah juga membiarkan Dira berangkat dengan Gojek.

Bunda pun sama dengan Ayah. Bunda berperilaku seolah-olah tidak terjadi sesuatu, bahkan sepertinya Bunda sudah melupakan segala runtutan kata yang pernah dilontarkannya kepada Kara yang berhasil menggores hati Kara.

Kara dan Bunda masih memasak makan malam bersama, kadang memasak sarapan juga. Dan di setiap kegiatan itu tidak sekalipun Bunda membahas tentang Kara yang akan pergi.

Entah mengapa Kara merasa keputusan yang dibuatnya hanya dianggap angin lalu oleh kedua orang tuanya. Tapi ia tidak merasa demikian dengan Dira. Dira benar-benar marah padanya dan sangat sulit membujuk Dira.

Di malam itu seusai makan malam Ayah mencegah Dira yang akan beranjak pergi. Ayah juga melarang Kara yang sudah akan membereskan meja makan.

Kara sangat sadar suasana di meja makan malam sangatlah tegang. Air muka Bunda tidak bisa ia baca sebab dari tadi Bunda selalu menghindari tatapannya. Ayah sendiri beberapa kali meneguk air mineral sebelum memulai pembicaraan.

"Ayah dan Bunda sudah memikirkannya." Ayah menghela napas dan kembali meneguk air di gelas. "Setelah lulus Kara boleh tinggal bersama Eyang."

Kara terkejut mendengar penuturan Ayah. Tangannya yang ada di bawah meja saling meremas. Ayah tidak menatapnya, tetapi ia sangat yakin ucapan Ayah tadi sungguh-sungguh. Jadi Ayah dan Bunda tidak mengganggap keputusannya sebagai angin lalu. Mereka berdua memikirkannya.

Kara melihat bundanya yang kini menunduk sembari menyeka air matanya. Di sampingnya Dira sedang mengerjap berusaha mempercayai pendengarnya.

"Ayah nggak salah bicara kan?" tanya Dira.

"Tidak. Ayah juga tidak mengambil keputusan sendiri tapi Bunda juga turut---"

"Kenapa Ayah tidak tanya aku dulu sebelum mengambil keputusan?! Aku juga bagian dari keluarga kalian kan?! Aku saudara kembar Kara, Ayah! Lalu, menurut Ayah apa aku akan setuju tinggal berjauhan dengan Kara? Tidak!" Dira berdiri kemudian mencengkeram pinggiran meja makan.

"Kara tidak akan kemana-mana! Kara akan tetap tinggal di sini." Dira menoleh menatap Kara yang juga memperhatikannya. Ia bisa melihat kesedihan di mata Kara, tetapi meski begitu ia tidak ingin meminta maaf atas ucapan yang sudah ia ucapkan. Jika Kara terluka di luar sana itu pasti akan membuatnya lebih sedih dari pada hanya ditinggal Kara pergi.

Tanpa menunggu tanggapan Ayah, Dira langsung pergi ke kamarnya. Ayah juga tidak lama tinggal di sana setelah Dira pergi. Hanya tinggal Kara dan Bunda.

Bunda merapikan meja makan bersama Kara. Ketika Bunda akan mencuci piring Kara menahan Bunda dan memeluk Bunda. Kara sangat ingin mengatakan bahwa ia sangat menyayangi Bunda.

Bunda membalas pelukan Kara dengan erat. Tangannya mengusap punggung Kara yang mulai bergetar karena tangis. "Maafkan semua ucapan Bunda, Kara," ujar Bunda.

Di dalam dekapan hangat Bunda Kara menggeleng.

"Mulai sekarang Bunda tidak akan membiarkan kamu terkurung dalam lingkaran penuh kekhawatiran yang Bunda ciptakan. Kamu berhak atas hidup kamu sendiri."

Dalam hatinya Kara sangat berterima kasih kepada Bunda. Ia ingin sekali mengucapkannya secara langsung, sayangnya keterbatasan menghalanginya.

Meski begitu Kara berjanji akan menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Bunda dengan menjaga dirinya dengan baik.

Karadira (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang