Di kamarnya Kara sedang menulis pertanyaan-pertanyaan yang akan ia ajukan pada Reiko. Tadi sepulang sekolah ia tidak langsung pergi ke toko buku melainkan bertemu dengan Reiko. Ia akui untuk bisa menemui Reiko dan mengajak cowok itu berbicara sangatlah susah. Di tambah sifat Reiko yang amat menyebalkan itu.
Untuk bisa mengajak Reiko berbicara sepulang sekolah tadi dia harus pergi ke tempat bisa Reiko nongrong yaitu di belakang sekolah di warung Mak Tini. Kara dapat bernapas lega ketika dia mendapati Reiko yang memang sedang berada di belakang sekolah walaupun cowok itu sedang dalam masa skors. Tapi Kara juga harus bernegosiasi dengan Reta karena cewek itu juga sedang bersama Reiko. Dua sejoli itu memang tidak terpisahkan.
Untunglah Reiko mau diajaknya ke Cafe dekat sekolah seusai dia menulis nama Galih di notes ponselnya dan menunjukkannya ke Reiko. Namun, sialnya Reiko tidak memberi banyak waktu padanya karena cowok itu akan kencan dengan Reta.
Akhirnya di Cafe yang Kara sampaikan hanya pertanyaan yang menurutnya janggal.
"Lo kenapa ngetiknya lama banget elah! Gue nggak punya waktu banyak! Lagian kenapa lo nggak bisa ngomong sih?!" Di bawah meja kaki Reiko tidak berhenti bergerak seperti halnya mulut cowok itu yang tidak ada henti mengoceh dan menghina Kara.
"Perbedaan lo sama kembaran lo itu sangat ketara." Reiko mengusap dagunya sembari terus memperhatikan Kara yang fokus mengetik. "Kembaran lo jago nyanyi dan suaranya bagus banget. Lah elo ngomong aja kagak! Tapi nggak pa-pa sih, lebih baik gitu, jadinya saudara kembar lo nggak ada saingannya. Yah, seandainya sekalipun lo bisa ngomong belum tentu suara lo bagus kan?"
Kara berusaha untuk tidak mendengus dan memancing emosi Reiko. Dia tidak sakit hati atas perkataan Reiko padanya. Cowok itu sudah cukup sering menghinanya. Asal Reiko tidak melukai fisiknya maka Kara merasa baik-baik saja.
Setelah selesai mengetik Kara menunjukkan ponselnya pada Reiko. Reiko membaca apa yang sudah Kara tulis. Rahang Reiko menegang dan wajah Reiko menunjukkan sebuah emosi.
"Alasan kamu menggangguku selama ini karena balas dendam kan, karena aku sudah melaporkan aksi bejat Galih? Kenapa harus balas dendam? Lagi pula sepupu kamu yang bejat itu masih bebas tertawa-tawa dan bisa kemana-mana kan? Hasil dari perilaku tidak senonoh sepupu kamu adalah kebebasan dan itu sangat tidak adil. Dan kedua keluarga memilih jalan damai. Lalu kenapa kamu mengusikku? Permasalahan itu sudah diselesaikan."
Napas Reiko memburu. Tangan Reiko yang ada di atas meja mengepal. Tatapan Reiko menajam ke arah Kara. "Lo itu nggak tahu apapun. Dan yang Lo bisa itu cuman ikut campur."
Usai mengatakan itu Reiko berdiri. Tatapan Reiko masih tajam menghunus Kara. "Gue akan menghubungi lo nanti soal jawaban gue dan pertanyaan lain yang mau lo ajuin."
Reiko kemudian pergi dari Cafe. Kara menghela napasnya lalu mematikan ponselnya dan memasukkan kembali ke saku seragamnya.
Mengingat kejadian di Cafe tadi membuat Kara sedikit tidak yakin Reiko akan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Cowok itu gampang sekali tersulut emosi. Namun, Kara harus meluruskan permasalahannya dengan Reiko secepatnya sebelum Jendra kembali ke sekolah. Dia tidak ingin Jendra kembali terlibat dan mendapatkan masalah lagi.
Ngomong-ngomong soal Jendra cowok itu tidak ada kabar sama sekali. Bahkan tidak mengiriminya chat lagi. Andra juga tidak pernah menyampaikan kabar soal Jendra lagi.
Kara harap Jendra baik-baik saja. Sayangnya, harapan Kara harus berbuah kekecewaan sebab Jendra sedang tidak baik-baik saja. Atau tidak pernah baik-baik saja.
Cowok itu pandai berpura-pura.
•••
Dira mengernyit mendapati pesan Kara yang lagi-lagi mengatakan akan ke toko buku dan izin untuk pulang lebih dulu. Dia nggak mau mencurigai kembarannya hanya saja buku yang baru aja Kara beli kemarin belum di buka bungkusnya oleh Kara. Lalu kenapa Kara membeli lagi? Kara tidak biasa seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karadira (Selesai) ✓
Fiksi RemajaBagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jendra tidak ada bedanya saat dia memperjuangkan mimpinya sendiri ataupun membiarkan Andra mengorbankan...