"Bunda bangga sekali dengan kemampuan memasak kamu, Kara. Mungkin ini dampak kamu sering bantu di dapur." Bunda menepuk puncak kepala Kara.
Kara yang sedang menyajikan hasil masakannya dengan Bunda di meja makan tersenyum. Ya, setidaknya ada yang bisa Bunda banggakan darinya.
"Setelah lulus kamu mau melanjutkan kemana? Kamu tidak pernah membahas ini sama Bunda ataupun Ayah. Dira sepertinya sudah pasti ambil musik, dia udah bicarain sama Ayah."
Kegiatan Kara terhenti sejenak, ia memikirkan perkataan Bunda. Sejauh ini ia masih bimbang, sangat malah. Ia berpikir untuk tidak melanjutkan kuliah tapi kalau tidak kuliah ia mau bagaimana? Belum tentu dapat kerja dengan kondisinya yang seperti ini kan? Cari kerja sekarang sangat sulit. Kalaupun kuliah ia masih bingung mau kuliah di mana dan mengambil jurusan apa.
Ada satu hal lagi yang dipikirkan Kara, sejujurnya tidak harus memikirkan hal yang seperti ini. Namun, entahlah akhir-akhir ini ia sering memikirkan hal ini. Ia memikirkan tentang cinta.
Kalau ia bersikap realistis pasti sangat sulit menemukan seseorang yang akan menerimanya bahkan juga memberikan cinta. Tapi tidak menuntut kemungkinan pasti ada, tetapi ia tidak ingin berharap dengan kemungkinan kecil seperti ini.
Bahkan ia sampai kepikiran apa mungkin ia tidak menikah saja, ya? Dan hal ini sangat sulit diputuskan di umurnya yang masih 18 tahun. Seandainya ia memilih untuk terus sendiri ia harus benar-benar menjadi orang yang mandiri.
"Dira pasti sangat senang kalau kamu sama dia satu universitas, Kara. Tapi Bunda tidak akan memaksa kamu karena kamu pasti punya jalanannya sendiri. Ayah sama Bunda nggak akan maksa kamu, sebab kita yakin kamu sudah bisa mengambil keputusan yang tepat untuk diri kamu sendiri. Ya, kalau Bunda maunya kamu jangan jauh-jauh dari Bunda."
"Untuk saat ini Kara masih belum memastikan, Bunda. Nanti kalau udah pasti aku bakal kasih tahu Bunda dan Ayah."
"Bisa jadikan Bunda orang pertama yang tahu?"
Kara tersenyum meski keningnya mengernyit.
"Asal Bunda tidak akan bersikap meledak-ledak dengan keputusan yang Kara ambil. Bisa saja keputusan yang Kara buat nanti adalah keputusan yang besar kan?"
"Bunda tidak janji akan bersikap tenang kalau keputusan kamu beneran keputusan yang sangat besar, Kara." Bunda menatap mata Kara lekat. "Baiklah Bunda akan panggil yang lain untuk makan siang."
Makan siang di rumah Nenek terasa hangat. Beberapa kali Nenek mengambilkan lauk untuk Kara. Dira tidak henti-hentinya menggoda Nenek yang perlahan sudah menerima Kara.
Melihat perubahan ibunya hari ini membuat Bunda merasa bahwa tadi malam yang dilihatnya bukan mimpi. Ibunya benar-benar memperlakukan Kara dengan baik dari tadi pagi dan jujur saja sedikit berlebihan makanya tidak heran jika Dira menggoda ibunya.
Waktu sarapan tadi Nenek menyuapi Kara dengan alasan sudah lama tidak menyuapi Kara. Ketika Kara tadi akan turut membantu Bunda memasak untuk makan siang Nenek melarangnya karena takut Kara kenapa-kenapa, seperti tangannya kegores ketika memotong sayuran misalnya, tetapi Kara berhasil membujuk Nenek bahwa dia akan baik-baik saja.
Kara tidak malu kala Dira menggodanya ataupun menertawakannya karena sikap Nenek padanya sebab menurutnya apa yang dilakukan Nenek sangat menyenangkan baginya, sudah lama ia menantikan perhatian Nenek dan sekarang ia sudah mendapatkannya.
"Kamu seperti bayi sekarang di mata Nenek," bisik Dira.
Nenek yang mendengar bisikan Dira menyahut, "Kamu juga masih terlihat bayi di mata Nenek sekalipun udah bisa genjreng gitar, Dira. Kamu mau Nenek siapin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karadira (Selesai) ✓
Teen FictionBagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jendra tidak ada bedanya saat dia memperjuangkan mimpinya sendiri ataupun membiarkan Andra mengorbankan...