Bab 04

88 19 16
                                    

Di dapur Iva, Bunda si kembar, sedang sibuk memasak makan malam. Si kembar sendiri sedang ada di halaman depan rumahnya duduk di ayunan sembari menunggu Ayah pulang.

Aktivitas menunggu Ayah pulang selalu mereka lakukan sejak kecil. Mereka sangat senang menyambut Ayah pulang kerja karena Ayah sendiri pernah bilang kepada mereka bahwa lelah yang Ayah rasakan setelah kerja langsung sirna saat melihat mereka.

Dira bernyanyi sembari memainkan gitar untuk membunuh keheningan di antara mereka dan Kara hanya mendengar juga sesekali memberi tepuk tangan untuk Dira.

Handika, Ayah si kembar, tersenyum mendapati kedua anaknya sedang duduk di ayunan menunggunya. Buru-buru dia menghampiri kedua anaknya.

Dira menghentikan nyanyian saat menyadari kehadirannya. "Ayah pulang!" teriaknya.

Handika duduk di antara putrinya. "Gimana hari ini? Menyenangkan?" tanyanya.

"Berhubung belum padat tugas karena masih awal kelas dua belas jadi menyenangkan," jawab Dira.

"Jadi nanti kalau banyak tugas tidak menyenangkan lagi begitu?"

Dira mengangguk. "Apalagi tugas ekonomi, yah! Mumet kepala adek!"

Kira tersenyum melihat interaksi Ayah dan Dira. Dira sering kali menyuarakan isi hatinya namun kadang untuk masalah yang mengusiknya dia simpan sendiri. Itu sangat membuat Kara khawatir.

"Nanti Ayah ajari deh biar nggak pusing." Ayah mengusap kepala Dira.

Perhatian Handika beralih kepada Kara. "Hari ini menyenangkan, Kara?"

Kara mengangguk lalu berbicara kepada Ayah melalu bahasa isyarat. Kedua orang tuanya memang bisa bahasa isyarat jadi itu sangat memudahkan Kara karena ia bisa langsung berkomunikasi dengan orang tuanya tanpa memerlukan ponselnya.

Dulu Eyang, Ibu Ayah, pernah bercerita pada Kara mengenai Ayah dan Bunda yang pandai bahasa isyarat. Eyang bercerita jika Ayah sudah bisa bahasa isyarat sejak Ayah masih anak-anak karena saudara kembar Ayah, Om Hardika, juga bisu seperti dirinya. Jadi untuk bisa berkomunikasi dengan mudah dengan kembarannya Ayah berusaha belajar bahasa isyarat. Sayangnya, Om Hardika bunuh diri sewaktu remaja karena lingkungannya selalu mengucilkannya belum lagi hinaan yang ia terima. Menurut Kara Om Hardika merasa tidak diinginkan.

Kara sendiri pernah merasakan itu karena keluarga besarnya dari Bunda dan Ayah tidak pernah menganggapnya ada, kecuali Eyang. Awalnya memang sedih dan menyiksa tapi perlahan-lahan ia mulai bisa menerimanya. Ia mengerti mungkin tidak semua orang bisa menerima orang sepertinya tapi tidak menuntut kemungkinan pasti ada orang yang menerimanya. Semuanya hanya masalah waktu.

Bunda sendiri belajar bahasa isyarat saat umur Kara delapan tahun. Kara masih ingat waktu Bunda dengan semangat mengajakknya berkomunikasi dengan bahasa isyarat waktu pertama kali. Bahkan waktu itu Bunda menitikkan air mata dan memeluknya seerat yang Bunda bisa.

"Sangat menyenangkan, yah!" ucap Kara dalam bahasa isyarat.

"Coba ceritakan sama Ayah apa yang menyenangkan hari ini?"

"Seorang teman."

Wajah Handika berubah cerah. Ini kali pertama Kara menyebutkan kata teman kepadanya. Handika merasa senang tapi dalam benaknya juga ada sedikit ke khawatiran. "Teman?! Siapa?"

Dira menggerling ke arah Kakaknya. "Sudah kamu konfirmasi ya, jawabnnya?"

Belum sempat Handika mendapatkan jawaban dari Kara tapi malah sang istri mendatangi mereka dan mengajak masuk rumah karena makan malam sudah siap.

Kara dan Dira sudah masuk rumah lebih dulu sedang Handika dan Iva berjalan di belakang kedua anaknya.

"Kenapa anak-anak cepat banget gedenya, ya? Dua bulan kemarin mereka berulang tahun kedelapan belas. Sebentar lagi mereka juga lulus SMA. Mas belum siap harus melepas mereka, Dek," ujar Handika.

Karadira (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang