Bab 26

33 7 0
                                    

Genap seminggu sudah Jendra menghindari semua orang yang dekat dengannya, Kara, Dira, dan Andra. Setiap istirahat ia gunakan untuk meringkuk di ranjang UKS, ia tidak sakit tapi ia sedang bingung menentukan nasibnya dan juga Kakaknya di masa depan.

Jendra sadar Kara turut kebingungan atas sifatnya begitu pula dengan Dira. Kedua bersaudara itu sering kali mengirimkan pesan padanya yang berisi ajakan makan di kantin atau di taman belakang. Bahkan Dira tidak ada lelahnya menyuruhnya datang ke ruang ekskul band walaupun tidak pernah ia tanggapi.

Semenjak Dira tahu kemampuannya bermain gitar dan bernyanyi cewek itu jadi lebih semangat lagi mengajak nongkrong di ruang ekskul band. Ia juga sempat diajak Dira untuk tampil di ulang tahun sekolah nanti, tapi ia belum memikirkan itu karena belum sekalipun ia bernyanyi di hadapan banyak orang. Selama ini ia hanya tampil di dalam kelas yang isinya hanya anak-anak kelas saja.

Namun, sekarang ada yang lebih penting yang harus dipikirkan dulu. Dan menjauh dari mereka untuk sementara adalah langkah awal agar ia bisa memikirkan matang-matang tanpa terusik apapun.

Jendra sedang berbaring terlentang Di ruangan dengan bau obat-obatan yang kuat sembari menatap plafon yang berwarna putih pudar. Di dalam kepala terus berputar dialog antara Papa dan Andra.

Sesungguhnya, perasaan Jendra saat ini sangat campur aduk. Ia kesal dan marah pada Andra yang menyerahkan dirinya begitu mudah hanya demi dirinya, tetapi dilain sisi ia juga tidak tega dengan Andra.

Jendra juga kesal dengan dirinya sendiri. Kalau ia tidak memberontak dan menuruti semua titah Papa pasti tidak ada yang berkorban untuknya. Hanya dirinyalah yang berkorban, merelakan mimpinya. Tapi ia juga tidak ingin menyerah begitu saja, apalagi menyerahkan mimpi yang sudah ia damba sejak kecil.

Berbicara perihal mimpi Jendra tidak pernah tahu mimpi Andra sebenarnya. Dari kecil Andra selalu tunduk patuh kepada Papa tidak ada pemberontakan sama sekali. Andra mulai memberontak kepada Papa saat Andra tahu akan mimpi Jendra. Andra bersikap seolah-olah ingin memperjuangkan mimpinya sendiri. Andra selalu membelanya di depan Mama Papa jika mereka sudah membicarakan masa depan. Masa depan yang diidam-idamkan Papa Mama.

Bel berbunyi nyaring menandakan waktu istirahat telah usai. Jendra beranjak dari ranjang kemudian menatap keramaian di luar yang berangsur-angsur sepi dari jendela UKS.

"Kepala kamu sudah nggak sakit, Jendra?" tanya Mbak Ela, penjaga UKS, yang baru saja membuka pintu UKS dengan membawa beberapa obat.

Selama ia sering kali ke UKS Jendra selalu beralasan kepalanya sakit. Awalnya Mbak Ela percaya dengan alasan itu tetapi perlahan Mbak Ela semakin ragu akan alasannya itu karena setiap hari ia bertandang ke UKS. Namun, untunglah Mbak Ela membiarkannya.

"Masih sakit banget, Mbak! Rasanya penuh banget," jawab Jendra.

"Kenapa nggak tiduran lagi aja kalau gitu?"

"Biasalah, Mbak, udah bel ini."

"Ya udah terserah kamu aja. Kalau nanti sakit di kepala kamu tambah parah balik aja ke sini."

Jendra mengacungkan kedua ibu jarinya sambil nyengir. "Oh, siap, Mbak."

"Di kelas dua belas emang banyak yang harus dipikirkan, Jendra, jadi Mbak nggak heran kalau kamu sakit kepala."

"Rasanya mau meledak!"

Mbak Ela terkekeh menanggapi Jendra.

Ketika di luar sudah benar-benar sepi barulah Jendra pergi dari UKS dan kembali ke kelasnya.

"Mbak Ela, saya ke kelas dulu, ya," pamit Jendra sebelum keluar.

•••

Kara meremat ujung tali tasnya. Punggungnya bersandar di tembok kelas Jendra tepat di samping pintu. Ia sedang menunggu Jendra.

Karadira (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang