32 ~

69 4 0
                                    

Kay baru saja akan melangkahkan kakinya menuju tempat parkir dimana mobil yang di kendarai oleh bodyguard nya berada, tetapi seseorang menarik lengannya dan membawanya menuju lorong sepi yang berada di samping rumah sakit. Baru saja dia akan berteriak, orang yang menariknya menoleh dan Kay tentu saja terkejut saat melihat wajah orang itu.

Dugh!

Kay sedikit meringis saat punggungnya berbenturan dengan tembok meski tidak kuat tetapi tetap terasa sakit.

"Kenapa lo hindari gue di kampus? Kenapa lo seolah abaikan gue pagi tadi?"

"Apa? Kay nggak merasa lakuin hal yang Jo sebut tadi." Kay berusaha tenang meskipun jantungnya berdegup kencang dan berusaha menahan air matanya yang akan keluar.

"Jangan bohong Kay. Gue jelas tau kenapa lo bersikap seperti itu." Jovan menatap lekat Kay.

"Terus, kenapa Jo malah tanya semua itu ke Kay kalau udah tau jawabannya?" Kay membalas tatapan Jovan. Mata gadis itu tampak merah dan Jovan jelas tahu bahwa Kay sedang berusaha untuk tidak menangis. Jovan segera membawa Kay dalam dekapannya.

"Maafin gue..." Jovan mengeratkan dekapannya. "Gue bakal jelasin semuanya ke lo, yang jelas gue nggak bohong tentang perasaan gue ke lo, Kay." Kay hanya terdiam. Tidak membalas dekapan atau perkataan Jovan.

"Ikut gue. Gue bakal jelasin semuanya." Jovan kini menggenggam tangan Kay.

"Kay nggak bisa. Kay harus pulang. Lagi pula kita nggak punya hubungan apapun. Jadi, Jo nggak perlu jelasin apapun." Kay berusaha melepas genggaman Jovan.

"Kayana!" Kay menghentikan gerakannya saat mendengar bentakan Jovan. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap datar lelaki di hadapannya.

"Ikut gue dengan baik-baik atau gue nggak segan pakai cara kasar agar lo ikut!" Kay membuang napas kesal. Lelaki itu tak main-main dengan ucapannya. Kay jelas tahu bagaimana perangai lelaki itu. Kasar dan keras kepala.

Melihat Kay yang terdiam sudah cukup memberi jawaban atas pertanyaannya. Lelaki itu segera menarik Kay menuju tempat mobilnya berada.

Dua puluh menit kemudian...

Ceklek!

Jovan membuka pintu apartemennya yang sudah lama tidak ia tempati. Lelaki itu kemudian meminta gadis yang bersamanya untuk masuk ke dalam. Kay menatap penuh rindu pada apartemen Jovan. Sudah lama gadis itu tak menginjakkan kakinya di apartemen ini. Mungkin hampir satu tahun atau bahkan lebih? Entahlah Kay lupa.

Setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan duduk di salah satu sof-- tidak. Hanya Kay yang duduk di sofa dan Jovan duduk di atas lantai tepat di hadapan gadis itu. Jovan membawa kedua telapak tangan Kay ke dalam genggamannya. Mengusap punggung tangan gadis itu dengan lembut dan penuh kasih.

"Gue di paksa untuk tunangan sama keluarga gue. Lebih tepatnya, kakek yang paksa gue untuk tunangan sama dia. Kakek gue tau tentang lo yang dekat sama gue. Kakek nggak setuju sama hubungan gue dan lo, karena kakek pikir status sosial kita berbeda. Beliau nggak tau kalau lo bagian dari keluarga Xavier." Jovan kini menempatkan kedua tangan Kay untuk menangkup pipinya. "Meski kakek tau pun, dia nggak akan biarin gue berhubungan sama lo." Jovan menatap teduh Kay.

"Lo tau kan kenapa?" Kay mengangguk. Jelas ia tahu. Perusahaan keluarga Jovan merupakan saingan perusahaan keluarganya. Tetapi, keluarganya tetap membiarkan ia dekat dengan Jovan karena mereka berpikir itu hanyalah urusan perusahaan.

"Kakek juga ancam gue dengan nyawa lo kalau gue nggak terima pertunangan itu." Jovan melepaskan kedua tangan Kay dan menempatkan kepalanya pada paha gadis itu.

FIRST LOVE // 02 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang