Eternal love [14]

230 30 1
                                    

Selama perjalanan pulang hanya di hiasi dengan keheningan antara keduanya. Hanya terdengar suara kendaraan yang berlalu-lalang disekitar mereka. Tidak ada satu katapun terucap dari mulut ginela maupun marva.

Ginela melihat ke arah langit yang sudah mulai gelap, lampu-lampu di sepanjang jalan juga sudah mulai menyala, menghiasi sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan warung makan yang semula tutup juga sudah terlihat terbuka. Ginela hanya membayangkan bagaimana reaksi jaya ketika dirinya sampai di rumah. Ntah dia akan marah atau sekedar menginterogasinya karena ginela tidak pernah pulang selarut ini jika keluar bersama kavita.

Peraturan rumah mengizinkan jaya dan ginela untuk keluar hingga pukul 8 malam jika lewat dari itu harus ada alasan yang jelas. Mereka sudah di latih untuk disiplin sejak masih kecil, makan pun harus selalu diusahakan agar tidak terlambat.

Ginela mengalihkan pandangannya ke arah arloji yang berada di tangan kirinya, dia mengamati waktu yang sudah di tunjukkan jarum jam tersebut. Terlihat sudah pukul 6 lebih dan perjalanan mereka masih cukup jauh. Ginela memberanikan diri untuk membuka obrolan dengan menepuk pelan pundak marva.

"Ada apa gi?"

"Kak bisa agak cepet ga? Soalnya kalau lewat jam delapan, gue bisa dimarahin bunda sama ayah." Gine berusaha berbicara kencang agar marva mendengar suaranya tersebut.

"Bisa gi, pegangan yang kuat ya, kalau ga pegangan kuat aku ga akan cepetin motornya." Marva tersenyum ke arah ginela.

Ginela terdiam sejenak sembari memikirkan dia harus memegang apa agar tidak terjatuh. Terpintas dalam pikiran ginela untuk memegang bagian belakang motor marva, dia pun meraih pegangan belakang motor milik marva tersebut.

"Gi?"

"Ah iya kak, aku udah pegangan ini."

Marva melirik sekilas ke arah belakang mendapati ginela yang memegang belakang motornya, marva hanya tersenyum kecil.

"Loh kak kok ga di cepetin? Kan aku udah pegangan." Ginela heran karena dia sudah berpegangan namun marva tidak menambah kecepatan laju motornya.

"Gimana aku mau cepetin motornya kalau kamu sendiri pegangannya disitu gi? Kalau aku cepetin motornya yang ada kamu terjungkal ke belakang." Jelas marva dengan suara sedikit keras agar ginela dapat mendengarnya.

"Terus aku harus pegangan dimana kak? Ga ada pegangan lain selain ini kak." Ginela masih sibuk mencari pegangan yang lain.

Marva yang sudah sedikit geram dengan tingkah ginela hanya menghela nafasnya. Tanpa pikir panjang marva menarik tangan ginela agar memeluk pinggang marva dengan erat. Ginela terlihat cukup terkejut dan membulatkan matanya, dia berdiam sejenak sembari melihat tangannya yang sudah melingkar disekitar pinggang marva.

"Kak?"

"Kenapa? Mau cepat sampai kan? Pegangan yang kenceng biar ga jatuh gi." Ginela memegang erat pinggang marva. Marva menambah kecepatannya sampai ginela menyembunyikan wajahnya di punggung milik marva.

Terasa sangat aneh bagi ginela jika keluar dengan laki-laki yang belum lama ia kenal, biasanya ginela keluar hanya dengan jaya, rendi maupun nalendra. Namun ia sekarang keluar bersama dengan marva, laki-laki yang baru beberapa minggu lalu dia kenal, belum banyak yang di ketahui ginela mengenai marva, tapi ginela rasa marva adalah orang yang baik dan dia tidak akan berbuat yang tidak-tidak pada ginela. Marva juga ketua osis dan pastinya dia tidak akan menjelekkan nama organisasi dan akan menjaga nama baiknya dan sekolah. Namun kenapa jaya sampai bisa benci terhadap marva? Yah hanya jaya dan marva yang tahu tentang hal ini. Ginela tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan jaya dan marva.

Marva menghentikan laju motornya tepat di depan toko bunga yang ginela maksud. Toko bunga yang tidak terlalu besar namun cukup terkenal dikalangan orang-orang besar karena bunga yang di jual selalu berkualitas bagus. Dengan perlahan ginela menuruni motor milik marva dan melepaskan helm lalu menyerahkannya ke marva.

The eternal love of the sun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang