Cup!

191 15 0
                                    

"Aku udah tau, aku mau apa," kata Gi, tepat setelah mobil Ghaly berhenti di depan rumahnya.
"Apa?"
"Ada banyak."
"Sebut aja."
"Satu... Ini baru satu ya. Kalau terpenuhi, aku baru lanjut ke dua, tiga, dan seterusnya."
"Iya."

"Satu... Aku... Pengen kamu jujur. Jujur sama perasaan kamu sendiri. Kamu udah beneran move on dari Iris atau belum? Kamu udah beneran suka sama aku? Aku kasih kamu kesempatan buat jujur sekarang juga."

"..."

Cukup lama Ghaly diam saja dan tidak lekas memberikan jawaban. Ginela pun membiarkannya dulu. Sampai akhirnya beberapa menit sudah berlalu.

"Masih belum mau jawab?"
"..."
"Kok lama? Kenapa masih mikir?"

Ghaly belum juga bersuara.

Seketika Ginela tertawa miris.

"What the f*ck!" ujar Gi lirih, tapi seharusnya Ghaly masih bisa mendengar.

Melihat Ghaly belum memberikan respon sama sekali. Ginela berlagak mau turun dari mobil. Namun saat Gi berusaha membuka pintunya, ia malah merasa kesulitan. Berkali-kali Ginela berusaha untuk membuka, tetap saja tidak seperti biasanya. Sulit sekali untuk dibuka.

Ginela menoleh kembali ke arah Ghaly. "Kenapa pintunya nggak bisa dibuka?"
Ghaly balas menoleh ke arah Gi. Ia memandang Gi.
"Masih mau diem aja? Bukain lah pintunya! Ngapain juga nahan gue di dalam sini kalau lo juga nggak mau jawab pertanyaan gue!"

Ghaly tetap tidak merespon, memandangi Gi dalam diam seperti orang linglung yang tidak tau harus melakukan apa.

"Ghaly!" teriak Gi.

Setelah itu akhirnya Ghaly bergerak juga. Perlahan-lahan Ghaly terus mendekat ke Gi. Semakin mendekat. Dan terus berangsur-angsur mendekat.

Sekarang kepala Ghaly berada tepat di depan wajah Gi. Sementara tangan Ghaly sedang berusaha membukakan pintunya.

Hampir saja Ginela khilaf.

Untung Ginela cepat sadar.

Sial!
Dibukain beneran!

"Sok-sok an ngomong, 'Kamu mau apa? Bilang aja.', tapi nyatanya?" gerutu Ginela, jelas di dekat telinga Ghaly dan membuat Ghaly menoleh.

Wajah Ghaly dan Ginela jadi saling berhadapan dengan jarak yang hanya beberapa centi saja.

Ginela langsung kesulitan bernapas.

Ginela hampir tidak bisa menghirup oksigen dengan benar. Ia tidak bisa berpikir jernih lagi dan,

Plak!

Tamparan dari tangan Ginela mendarat sempurna di pipi Ghaly.

"Awh...." Ghaly kembali duduk dengan posisi normal seraya memegangi pipi kirinya yang perlahan mulai memerah.

"Kenapa kamu nampar aku?"
Ghaly terlihat sangat kesakitan.
Ginela tadi bener-bener reflek karena salah tingkah dan tidak tau harus bertindak bagaimana. Sekarang dia jadi merasa bersalah melihat Ghaly yang memelas seperti itu.
"Ma-maaf...."
"Ya udah sana turun!"

"Hm?"

Ada bunyi dari dalam mobil dan Ghaly berkata, "Udah aku buka kuncinya."

Ginela pun langsung mencoba membuka pintunya dan ternyata memang sudah tidak sesulit tadi. Jadi sebelumnya memang sengaja dikunci oleh Ghaly untuk mencegah Ginela turun dari mobil.

Setelah seharusnya bisa turun dari mobil, Ginela malah tidak lekas turun.

"Kenapa masih di sini? Katanya mau turun."
"Sini aku lihat dulu pipi kamu. Kayaknya sakit banget ya?"
"Ya sakit lah. Emang tangan kamu nggak bisa ngerasain gimana kencengnya kamu nampar aku?"
"Ya udah sini aku lihat dulu. Kalau perlu kita masuk ke rumah aja, aku obatin di dalam."
"Enggak. Enggak usah. Kamu turun aja. Katanya udah mau turun tadi. Sampai nampar aku segala."
"Iya maaf. Enggak sengaja."
"Jelas-jelas kamu sengaja."
"Ssst!"

My Possessive GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang