Minta Maaf

167 17 1
                                    

Ginela berjalan dari cafe yang ada di dekat sekolahnya sampai ke rumah. Entah sudah berapa kilometer ia lewati, dia tidak peduli dengan keringat, lelah, pegal-pegal, ia hanya melakukannya begitu saja.

Sesampainya di kamar, kaki Gi yang sedari tadi tidak berhenti melangkah, akhirnya bisa istirahat selama beberapa detik. Ginela menjatuhkan seragam dan tasnya, baru setelah itu dia kembali berjalan beberapa langkah saja, lantas menjatuhkan dirinya di atas kasur dengan sepatu yang masih menempel di kakinya.

Wajahnya sungguh sangat sudah kusut. Tenaga, pikiran, dan perasaannya semua sudah habis terkuras.

Gi meraih guling dan mendekapnya. "Ghaly nggak ngejar gue... Ghaly juga nggak telepon gue...," gumam Gi pada detik-detik sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidur.

Sementara di kondisi lain, Ghaly tengah mengendarai mobilnya dengan sebelah tangan dan tidak henti-hentinya berusaha menelepon Gi.

"Ish apaan sih ini Ghaly telepon Gi mulu. Bikin gue tambah kesel aja!" Joy terus menggerutu karena HP Gi tidak mau berhenti bergetar.

Drrrt. Drrrt.

Hampir saja Joy membanting HP itu, tapi ia sadar kalau itu bukan miliknya. Jadi Joy memilih langsung mematikan HP Gi tanpa memberitahu Ghaly kalau HP Gi sedang dia bawa.

Sesampainya di depan rumah Gi, Ghaly masih terus menghubungi Gi dari dalam mobilnya.

'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.'

"Aduuh... Sekarang malah nggak aktif lagi."
***

Semalaman tidur Ghaly jadi tidak nyenyak. Matanya terpejam, raganya terbaring di atas kasur, seluruh alat inderanya beristirahat, tapi tidak dengan bagian di dalam kepalanya. Beberapa kali Ghaly juga terbangun dan hanya untuk mengecek HP, tapi masih belum ada balasan dari Gi juga.

Pagi hari, hal yang pertama kali Ghaly lakukan setelah bangun dari tidur juga mengecek HP-nya dan berusaha menghubungi Gi.

'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.'

Masih mendengar informasi yang sama.

Dengan mata lelahnya, Ghaly terdiam di pinggiran kasur. Semalam ia juga sudah berusaha bertamu ke rumah Gi, tapi kata Mamanya, Gi sudah tidur. Meskipun begitu Ghaly merasa kalau itu hanya alasan saja. Gi hanya sedang benar-benar marah.

Nyatanya Gi memang marah, tapi ia juga sudah tidur saking terlalu lelahnya.

"Gue harus ngapain ya biar Gi nggak marah lagi?"

Ghaly terdiam memikirkan cara untuk membuat Ginela tidak marah, tapi dia malah teringat dengan kenangannya saat bersama Iris dulu. Kalau Iris marah, Ghaly akan mengiriminya bunga, coklat, boneka, dan sepucuk surat cinta.

Mungkin Gi akan luluh juga kalau Ghaly melakukan hal yang sama.
***

Ghaly sudah berangkat lebih awal untuk membelikan  bunga dan coklat terlebih dahulu. Tepat pukul tujuh lebih tiga puluh menit, ia sudah memarkirkan mobilnya di halaman rumah Gi. Ghaly hanya tinggal menunggu Gi ke luar.

Selama lima belas menit kira-kira Ghaly berdiri di depan rumah Gi. Lalu mobil Abbas datang. Abbas tidak turun dari mobilnya, karena sesaat setelah Abbas datang, Elea dan Ginela keluar dari rumah secara bersamaan.

Ghaly sudah memasang senyuman paling ramah yang ia punya, tapi perlahan memudar karena baik Elea atau pun Gi, keduanya kompak mengabaikan keberadaan Ghaly.

"Gi?" panggil Ghaly.

Ginela terus saja berjalan di belakang Elea.

Lantas Ghaly pun bergegas menyusul, tapi Ginela terus saja mengabaikan Ghaly.

My Possessive GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang