Bab 14

134 18 3
                                    

Fjola mencengkeram siku tangan Arnor yang mengenggam gagang pedang dari sabuknya. Ia mencegah peri itu melawan dengan menggelengkan kepalanya secara samar. Dengan perlahan, ia mengangkat kedua tangannya ke atas.

Arnor mendesah. Ia terpaksa melakukan hal yang sama seperti gadis itu—mengangkat tangan ke atas. Mereka menyerah.

Dilihat dari pakaiannya, Fjola yakin orang-orang yang mengepung mereka bukanlah prajurit. Mereka tak mengenakan baju zirah. Gadis itu juga yakin kalau mereka bukan begal maupun perampok. Sebab, jumlah mereka banyak sekali. Kawanan bandit tak ada yang sebanyak itu.

Mereka malah tampak seperti penduduk desa yang menggunakan senjata alakadarnya untuk mempertahankan tanahnya dari penyusup.

Diam-diam, Fjola memandang senjata-senjata yang mereka acungkan. Beberapa memang mengarahkan panah ke kepalanya. Namun, jika dijumlah, yang mengacungkan panah hanya sedikit. Paling tak sampai sepuluh orang. Sedangkan yang lain membawa arit, bahkan beberapa menggunakan garu sebagai senjata.

Setelah diam cukup lama, salah seorang di antara mereka maju. Orang itu merupakan lelaki separuh baya yang kurus. Ia memakai baju hangat dari wool, hampir sama seperti yang dipakai oleh Arnor. Namun, baju itu tampak lusuh seolah telah lama tidak dicuci. Lelaki itu membawa parang dengan tangannya yang tampak seperti tulang dibalut kulit. Keriput mengalur di sudut matanya. Kulitnya cokelat terbakar matahari. Tak salah lagi, Fjola yakin lelaki itu dulunya petani, atau mungkin sekarang masih berprofesi sebagai petani. Sebab, saat lelaki itu mendekat, samar-samar Fjola dapat mencium harumnya padi yang baru saja disiangi.

Lelaki itu mengamati Fjola sekilas, lalu melewatinya. Ia lebih tertarik kepada Arnor. Ia berhenti tepat di depan sang peri. Kakinya menjegal lutut Arnor supaya berlutut. Alih-alih, kaki sang lelaki yang kesakitan. Ia meringis. “Berlutut!” serunya tak mau kehilangan muka karena gagal menggertak.

“Oh,” Sang peri dengan polos melakukan perintah lelaki itu. Ia berlutut. Tangannya masih terangkat di atas kepala.

“Jangan sakiti dia. Dia bersamaku,” sahut Fjola segera.

“Diam!” hardik lelaki kurus itu. Ia mengulurkan tangannya ke depan. “Berikan senjatamu.”

“Kalau aku jadi kau, aku tak akan melakukannya,” Fjola memberikan nasihat kepada lelaki itu.

“Berikan!” Lelaki itu tak menghiraukan sang gadis.

Arnor menelengkan kepalanya sejenak, lalu menarik pedang dari sarungnya dan mengulurkan gagangnya kepada lelaki itu. Setelah sang lelaki memegang gagang pedangnya, Arnor kembali mengangkat tangannya ke atas. Serta merta, tangan lelaki itu tak kuat menahan berat pedang. Lengannya gemetar. Mau tak.mau ia melepaskan pedang itu.

Pedang Arnor meluncur turun dan menacap ke tanah. Lelaki kurus tadi mengamati sekeliling dengan gugup. Ia mengelap tangannya yang berkeringat lalu menarik pedang itu dari tanah. Akan tetapi, ia gagal. Ia mencobanya lagi dan gagal lagi.

“Sudahlah,” cetus Arnor menarik pedangnya dari tanah. Seketika, semua orang yang ada di sana kecuali Fjola mundur. Mereka memandang Arnor dengan waspada sekaligus takut. Seolah menyadari perhatian orang-orang, peri itu tak melepas kesempatan untuk menyombong. Ia memutar pedangnya dengan gaya, sebelum memasukkannya kembali ke sarungnya. “Keren, kan?” tanyanya menaikkan alis.

Alih-alih setuju, lelaki tadi menyuruh anak buahnya mengikat tangan Arnor ke belakang. Orang yang disuruhnya tampak ragu. Ia sampai menelan ludah.

“Cepat!” seru lelaki tadi tak sabar.  Ia lantas mengacungkan ujung parangnya ke leher sang peri dan mengancam, “Jangan bergerak!”

“Oh, ayolah!” Sang peri mendecakkan lidah.

Lelaki tadi mengentakkan parang dan mengerang. Ia menggertak peri itu.

Setelah melihat Fjola yang memelototinya, Arnor pun akhirnya mendesah pasrah. Ia mengulurkan kedua tangannya ke depan. Seorang lelaki lain yang membawa tali maju dan mengikat tangan peri itu dengan tubuh gemetar.

Setelah selesai mengikat sang peri, lelaki yang membawa parang tadi meminta Arnor dan Fjola mengikutinya. Ia memimpin mereka memasuki hutan. Mereka berjalan melewati pohon-pohon yang rapat. Beberapa pohon berdaun kecil. Meski begitu, ketika Arnor mendongak, ia melihat buah-buahan yang ada di sana sudah ranum. Perutnya mendadak melilit. Ia tak ingat kapan terakhir kali makan hingga kenyang.

Lelaki tadi menuntun mereka jauh ke hutan. Di tengah hutan ada sebuah kamp perkampungan. Ada sekitar lima bangunan panjang yang berdiri di sebuah tanah bukaan yang dikelilingi pepohonan. Banyak anak-anak yang bermain dengan ceria di sana, berlarian di tengah lapangan di depan kamp-kamp itu. Ada juga para gadis dan wanita yang sedang melakukan kegiatan sehari-hari seperti mencuci dan memasak. Mereka melakukannya di sisi lapangan. Uap dari masakan membuat air liur Fjola terbit. Ia sampai menelan ludah karenanya.

“Tunggu di sini!” ujar lelaki tadi menunjuk tanah dengan parangnya.

“Apa aku harus berlutut lagi?” tanya Arnor ragu.

Fjola menyenggol perut Arnor dengan sikunya sekilas, menyuruhnya diam.

“Aku kan cuma tanya,” bisik peri itu yang mendapat desisan sebagai tanggapan.

Lelaki tadi pergi ke sebuah bangunan yang paling dekat dan paling besar di sana. Fjola menduga ia tengah melapor kepada pemimpin mereka. Meski ditawan, entah mengapa ia tak merasakan adanya bahaya sama sekali. Orang-orang yang menahannya tidak menakutkan, malah terkesan konyol.

Tak lama kemudian, lelaki tadi keluar bersama seorang lelaki lain yang bertubuh lebih besar. Ia juga terlihat lebih kuat. Otot-ototnya tampak mengancam dari lengan atasnya yang tidak tertutup baju. Cambangnya panjang dan dikelabang. Matanya yang cokelat mengernyit ketika memandang Arnor.

“Kami menemukan mereka di hutan, telah melompati jurang. Salah satunya seorang peri,” kata lelaki yang membawa parang tadi sembari mendekat.

Samar-samar, Fjola mengenal lelaki bertubuh kekar yang menyertai lelaki kurus tadi. Matanya melebar ketika menyadari identitas lelaki itu. Ia lantas berseru, “Zargar!” Ia tak menyangka akan bertemu lelaki itu di tempat seperti ini.

Dipanggil namanya oleh seorang gadis asing membuat Zargar terkejut. Ia mengerjap sesaat. Ia merasa pernah melihat gadis itu, tetapi lupa di mana. Saat teringat, ia tertawa dan merentangkan tangannya. “Fjola! Apa yang terjadi pada rambutmu?”

Sang gadis pun menghambur ke dalam pelukan Zargar. “Ceritanya panjang.” Ia lantas melepas pelukannya. “Omong-omong, bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Aku yang harusnya bertanya. Apa kau tak ingat? Aku pernah berkata padamu dulu, waktu kita di penjara bersama: jika kau pergi ke wilayah selatan, sebutlah namaku dan kau pasti akan selamat. Dan well, kau selamat, kan?” Ia lantas terkekeh. Ia melingkarkan satu tangannya ke pinggang Fjola dan menuntunnya melangkah. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya riang.

Arnor yang diabaikan pun berdeham. “Tidak apa-apa. Aku bukan orang penting, kok.”

Fjola menoleh dan tertawa. Sekilas ia ingin membalas sang peri yang meninggalkannya tersangkut di dahan atas jurang tadi.

Lelaki yang membawa parang tadi bertanya kepada Zargar, “Apa yang harus kami lakukan terhadap peri ini?”

Zargar mengibaskan tangannya dengan tak acuh. “Bunuh saja.”

**

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang