Bab 38

87 15 3
                                    

Rasa lelah menghantam Fjola. Semua yang dialaminya beberapa hari terakhir ini terasa tak begitu nyata. Dari ia yang gagal menikah sampai menjadi tawanan para pemburu, kemudian pulang.

Pulang. Kata itu selalu diimpikannya satu bulan yang lalu. Ia begitu merindukan rumahnya, keluarganya. Namun, ketika ia sampai pada kata itu, ia malah kehilangan maknanya. Apa gunanya pulang sekarang? Segalanya sudah musnah. Tak ada apa pun yang menunggunya di rumah.

Pelukan calon suaminya yang begitu erat membuat ia ingin menyerah saja. Ia sudah lelah berjuang. Apa yang didapatkannya setelah selama ini bertahan dari gempuran musuh yang seolah tiada habis-habisnya. Dulu, musuhnya hanyalah kelaparan semata. Ia merasa menang ketika dapat mencurangi kelaparan itu dengan berburu di hutan terlarang.
Namun, semakin ke sini, musuhnya bertambah.

Mungkin, ia tak lagi lapar, akan tetapi orang-orang yang tak terpuaskanlah yang sekarang menjadi musuhnya. Dan, orang-orang itu semakin lama semakin bertambah. Bahkan, setelah mendapat apa yang mereka mau, bukannya berhenti, mereka malah semakin tamak. Fjola tak tahan lagi menghadapi mereka. Apalagi dengan sendirian.

Tidak. Fjola tidak sendiri. Di sisinya ada Fannar, Zoe, Sofia, dan Barrant. Namun, tetap saja tak ada Arnor. Fjola merasa sendiri.

Menepis Arnor dari ingatannya, Fjola melepas pelukan calon suaminya. Ia lantas menunduk.

“Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa tertangkap?” cecar Barrant menangkupkan tangan ke pipi sang gadis. “Untunglah kau baik-baik saja.” Ia lantas memeluknya lagi.

“Aku tidak apa-apa. Hanya lelah.” Ia melepas pelukannya lagi. Ia memandang hidung Barrant yang patah. “Apa kau terluka?”

Pangeran itu menggeleng. “Hanya luka kecil. Sebaiknya kau membersihkan diri dahulu, kemudian bersama-sama kita menemui Sofia. Kita perlu berembuk.”

Fannar yang tak suka akan kehadiran pangeran itu pun meliriknya dengan sengit. “Berembuk apa lagi?”

“Tentu saja berembuk bagaimana ke depannya. Kita tidak mungkin diam saja dan menunggu kematian.” Ia lantas menyerahkan Fjola ke tangan Zoe, lalu pergi. “Aku akan menemuimu lagi nanti.”

Fannar menatap punggung sang pangeran dengan mendengkus. Ia tak percaya sikap pangeran itu yang seolah tidak merasa berdosa sedikit pun. Padahal, Fannar bertaruh, para prajurit yang tewas itu pasti berkorban untuk menyelamatkannya dari Malakora.

“Dia benar-benar mengacaukannya,” gumam Zoe menuntun Fjola. Fannar mengikutinya.

“Apa maksudmu?”

Zoe menceritakan rencana yang disusun oleh Arnor kepada Fjola. Dia tahu rencana itu karena tak sengaja menguping.

“Arnor? Dia kemari?” Mata Fjola tampak membulat.

“Dia ke sini untuk mengambil busur dan tenda, atau apalah namanya itu. Dia pergi menyusul kaumnya,” jelas gadis itu.

Jantung Fjola mencelus. “Jadi, dia benar-benar pergi?”

“Ya. Katanya harus. Bahkan ketika Ratu Sofia meminta untuk membantunya dalam menghadapi Malakora, dia tetap pergi.”

Fjola tak tahu mesti menanggapinya bagaimana. Ia hanya bisa terdiam. Zoe melanjutkan ceritanya sampai pada bagian Barrant yang tahu-tahu ikut dalam peperangan menggunakan baju zirah milik salah satu prajurit Negeri Haust.

“Astaga,” Fannar menyahut. “Jika setelah mendengar ini kau masih mencintainya, aku tidak akan menganggapmu kakak lagi,” katanya kepada Fjola.

“Tapi, kenapa dia melakukan itu?” Fjola mengernyitkan kening. Ia tak menggubris peringatan andiknya. “Barrant yang kukenal tidak akan berbuat gegabah seperti itu.”

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang