Bab 88

75 12 4
                                    

Arnor terngiang-ngiang perkataan saudarinya yang sempat terdengar sebelum menghilang. Ia bimbang. Satu sisi ia ingin menyudahi semuanya. Ia ingin pergi selamanya. Namun, di sisi lain ia teringat akan Fannar, Zoe, dan prajurit yang berkumpul bersamanya saat makan malam di kamp. Mereka memandangnya dengan penuh harapan. Mereka mengandalkannya.

Ia lantas terbayang wajah Fjola yang membuka matanya dengan malas saat berbaring telanjang di sampingnya. Rambutnya yang pendek awut-awutan, tetapi tetap cantik dipandang. Bibirnya yang ranum, dan senyumnya yang menawan. Tubuhnya yang mungil. Ia tak sanggup kalau harus tanpa gadis itu.

Ia lantas mendengar detak jantung. Detaknya lemah, tetapi ada. Detaknya seirama dengan degup jantungnya sendiri, tetapi suara itu bukan berasal darinya. Dengan mata, ia mencari-cari, tetapi tak juga menemukan sumber suara itu.

Sementara itu, di istana, Barrant yang terluka parah bernapas dengan susah payah. Ia berusaha bangkit, tetapi tungkainya tak mampu digerakkan. Pangeran itu lantas menyeret tubuhnya, meraih jemari Fjola yang juga terbaring tak berdaya. Kulitnya masih terasa lembut dan hangat. Kemudian, ia melihat gerakan dari dadanya yang naik turun. Penasaran, ia mendekatkan punggung jarinya ke bawah hidung sang gadis. Ia dapat merasakan embusan napasnya walau samar.

“Dia masih hidup.” Barrant memaksa dirinya bangkit. Ia meminta Aguste yang kebetulan masuk untuk bersembunyi dari amukan Arnor untuk memapahnya. Awalnya, pengawalnya yang setia itu menolak ketika tahu tujuan sang pangeran. Tetapi, Barrant memaksa. Ia bahkan berlutut dan memohon.

Aguste lantas memapah Barrant ke rana. Mereka harus mengabarkan bahwa Fjola masih hidup dan sangat membutuhkan kekuatan penyembuh dari Arnor. Kalau tidak, ia akan benar-benar kehilangan nyawa.

Saat sampai di tepi area pertarungan, sang pangeran berteriak dengan sekuat tenaga. Ia berharap seseorang mendengar. Memang, harapannya terkabul. Eleanor mendengarnya. Akan tetapi, peri itu tak dapat berbuat apa-apa. Ia tak mampu menembus kabut yang memenjarakan Arnor.

Tak hanya Eleanor, si Jahat juga mendengar. Ia tak mau Barrant mengacaukan dirinya sehingga dengan sulur, ia menyasar sang pangeran. Untungnya, Barrant kini mampu menciptakan perisai. Si jahat gagal melukainya. Ia lantas beralih menuju istana. Ia berniat menghabisi Fjola.

Di dalam kabut, Arnor mendengar lagi detak jantung itu. Dalam setiap degupnya, ia dapat merasakan kehangatan yang mengalir dari dalam dirinya. Perlahan, sulur-sulur yang mencengkeramnya mengendur.
Dalam kabut pekat itu muncul bayangan dirinya sedang menggelantung bersama Fjola di pohon dekat pantai. Kali ini, ia melihatnya bukan dari matanya, melainkan dari sudut pandang si sulur. Ia juga melihat dirinya sendiri merangkul tubuh Fjola di atas salju, meminta maaf karena tak sengaja menyakitinya karena menyuruh sulur itu menjerat Fjola. Ia juga mendengar dirinya sendiri memerintahkan sulur itu untuk menyerangnya supaya Malakora tidak menyakiti Fjola.
Sang sulur yang rupanya memiliki perasaan dan pikiran seolah mengingatkan Arnor apa tujuan kekuatan itu dianugerahkan kepadanya dan bagaimana ia harus menggunakannya. Kemudian, kabut itu juga memperlihatkan bagaimana sulur-sulur itu digunakan oleh Kekuatan Jahat sekarang. Kabut menampilkan Eleanor yang tertusuk, Ronda yang tercekik, dan para manusia yang tertimpa reruntuhan.

Arnor lantas sadar. Ia membulatkan tekad. Fjola boleh tiada, tetapi kenangannya, tujuan perjuangannya, tak boleh mati. Apalagi cita-cita gadia itu masih belum tercapai.

Arnor lantas bangkit, mencoba lepas dari tekanan.

Di dunia nyata, si Jahat telah berhasil melumpuhkan musuh-musuhnya. Ronda terempas ke sudut area hingga tak berdaya, para panglima terpanggil, raja-raja tertimpa tubuh kuda-kuda yang mereka kendarai. Agis san Eleanor tak mampu bergerak lagi. Barrant san Aguste terkapar setelah terpental jauh hingga menabrak tembok istana.

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang