Bab 39

76 15 3
                                    

Barrant tahu bahwa sekaranglah waktunya untuk jujur. Kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada ayah sang gadis telah terbuka. Namun, apakah dia siap? Sama seperti dulu, waktu kesempatan itu pertama kali datang, Barrant takut. Ia khawatir Fjola tak dapat mengerti dengan penjelasannya. Di saat itu pun kondisi mereka tengah dalam keadaan damai. Jadi, Barrant memutuskan untuk menunda saja penjelasan itu.

Kini, berbanding secara terbalik, suasana berada di tengah perpecahan dan ketidakpastian. Apakah dia berani? Tentu saja, Barrant berani. Dia melakukan semua itu untuk Fjola. Dan yakin gadis itu pasti mau mengerti. Pangeran itu mengambil napas. Tangannya meraih jemari sang gadis, mengenggamnya erat.

“Kau percaya padaku, bukan?” tanyanya sebelum menjelaskan apa pun.

Sang gadis mengangguk.

“Waktu itu dewan mengancam akan membunuhmu dan seluruh keluargamu. Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Aku tak mau kehilanganmu.”

Fjola menatap serius pangeran itu.

“Raja Erik menyudutkanmu. Dia bersaksi kalau ayahmu mendatanginya dan membohonginya tentang statusmu.”

“Tapi, itu tidak benar,” kilah Fjola. “Ayahku tak tahu apa-apa tentang alasan kepergianku ke negerimu.”

Barrant diam sebentar. Ia menimbang-nimbang kata-katanya dengan tepat.

Fjola yang tak sabar pun mendesaknya. “Aku sudah bertemu dengan Raja Erik dan meminta penjelasannya darinya.” Ia berjalan ke jendela, menjauh dari sang pangeran. “Dia mengaku padaku kalau dia memang berbohong. Dan pada awalnya, Ayah menyangkal kebohongannya. Namun, saat sidang terakhir, Ayah berubah mengakui kebohongan itu. Raja Erik bersumpah bahwa dia tidak menyuruh maupun mengancam ayahku supaya mengikuti kebohongannya. Dan aku percaya kepadanya.”

Bahu Barrant melorot. Ia memandang punggung Fjola sejenak lamanya. Pikirannya masih bekerja dengan keras.

Tanpa melihat sang pangeran, Fjola menambahkan, “Fannar bilang—“

“Aku melakukannya untukmu.” Barrant memotong ucapan gadis itu. Ia lantas terduduk di tepi ranjang, meraup wajahnya dengan frustrasi. “Aku benar-benar takut kehilanganmu saat itu. Margaret mengancam akan membunuhmu dan seluruh keluargamu. Jadi, jalan satu-satunya adalah menimpakan semua kesalahan kepada ayahmu.”

Petir seolah menyambar tubuh Fjola. Hatinya mencelus. Darahnya bergemuruh di telinga. Ia menutup mata, mencoba memahami perkataan calon suaminya.

Barrant yang tak kunjung mendapat respon dari gadis itu pun bangkit dan mendekatinya. Ia mencekal lengan Fjola dengan takut-takut. “Ayahmu setuju melakukannya.”

Air mata merebak di pelupuk Fjola. Ia menarik lengannya dari sentuhan sang pangeran. “Mengapa?”

“Karena tak ada pilihan lain.” Barrant meyakinkannya.

Fjola menggeleng. Ia menunduk sedih. “Pada akhirnya, pengorbanan ayahku sia-sia belaka. Aku tetap saja mati.”

Sang pangeran membalik tubuh Fjola hingga menghadapnya. Ia menarik dagu gadis itu, menatap matanya yang basah. “Maafkan aku.”

Gadis itu menghindar. “Padahal aku mempercayaimu.”

Respons sang gadis membuat Barrant terperangah. Sejenak ia membeku. Ia tak mengerti. “Aku menyelamatkanmu,” tegasnya, seolah Fjola tak menangkap inti dari penjelasannya.

“Kau tidak menyelamatku. Kau membunuh ayahku.” Fjola mundur.

Barrant menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Kau salah mengerti. Jika ayahmu tidak mengakui skenario itu, kau, dia, dan adikmu akan dihukum mati.”

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang