Bab 37

79 15 1
                                    

Fjola menunggu gedoran kasar yang bakal datang dari luar rumah mungilnya, teriakan para tetangga yang ketakutan, seretan serta gempuran yang dilakukan makhluk-makhluk keji setelah menang perang. Alih-alih, kesunyian-lah yang begitu terasa. Bahkan dekut burung pun tak terdengar.

Matanya bergerak-gerak setiap kali menangkap gerakan. Dengusan napas dari orang yang bersamanya menenangkannya. Setelah beristirahat dan makan makanan yang dibawa oleh Fannar setelah mencarinya di sisa-sisa rumah yang telah ditinggalkan pemiliknya karena ketakutan akan perang, tenaganya mulai pulih. Tubuhnya yang gemetar telah berhenti. Perih dari lecet di kulitnya seolah menjadi kawan baginya. Ia tak memikirkan sakit jenis itu lagi. Yang ia pedulikan sekarang adalah bagaimana mereka selanjutnya. Tempat mana yang aman baginya? Dan, kenapa makhluk-makhluk itu tidak menyerangnya, menjarahnya, membinasakannya seperti hama tikus yang menganggu kota?

Mungkinkah Negeri Haust menang? Fjola berharap kemungkinan itu ada. Dengan siku ia menahan punggungnya supaya dapat mengintip ke depan. Fannar yang tengah mengelus lengannya karena kedinginan menoleh ke arahnya. Meski musim tak sedingin bulan-bulan kemarin, tetap saja hawa itu belum juga sepenuhnya pergi. Setelah ditinggal sebulan penuh, hanya baju-baju apak yang dapat digunakannya untuk menahan gigil.

Zargar yang bersama mereka tadi sudah pergi. Ia memutuskan untuk kembali ke kamp dan memperingatkan Will, sahabatnya, beserta orang-orang yang menjadi tanggungannya dalam kamp. Mereka akan meninggalkan kamp mereka yang nyaman dan mencari tempat perlindungan lain yang belum diketahui oleh para pemburu. Atau, jika tak memiliki pilihan, mereka akan terus lari dari satu wilayah ke wilayah lain, lari dari para makhluk yang mulai menguasai daratan para bangsa manusia. Pilihan yang paling akhir adalah mereka bergabung ke salah satu negeri dan menyerah untuk menjadi budak para tiran mengerikan.

Meski dalam keremangan, Fjola dapat melihat wajah adiknya muram.

“Bukankah sebaiknya kita bergerak? Kita tidak bisa menunggu kematian di sini,” ujar sang adik.

Fjola mendesah. Rasanya ia lelah sekali. Dalam hampir dua bulan ini ia terus melarikan diri. Kini ketika ia berhasil pulang pun, ia masih harus berlari. Matanya terasa berat. Ia kembali berbaring dan diam.

“Ada kuda di luar. Zargar meninggalakannya untuk kita,” tambah Fannar lagi.

Mata Fjola menerawang ke atas. Ia melihat atap rendah dari rumahnya yang reot. Di sanalah dulu ia lahir, dan atap itulah yang dulu dilihatnya pertama kali ketika keluar dari rahim. Bau apak gombal yang sama tercium di hidungnya. Bau itu amat akrab. Dan ia menyukainya. Ia masih ingin menghirupnya lebih lama lagi. Bau itu menenangkannya. Ia seolah aman di sana. Itu adalah aroma ibunya.

Ia menghidu aroma rumahnya dalam-dalam, kemudian memberanikan diri untuk mengambil keputusan. “Kita ke istana. Aku ingin tahu apa yang terjadi.”

Mata Fannar terbuka lebar. Ia menyangka kakaknya gila. Namun, memang itulah kakaknya. Begitu nekat. Ia hanya bisa menyutujui apa pun yang dikehendaki sang kakak. Ia lantas bangkit, menyiapkan senjatanya lagi. Ia membuka pintu dengan pelan. Derit pintu terdengar bagai musik yang tak akan terlupakan oleh telinganya. Firasat mengatakan bahwa ia tak akan mendengar derit itu lagi. Matanya memandang kekegelapan. Malam telah tiba.

Fjola memaksa dirinya untuk bangkit. Ia bergabung dengan Fannar di luar. Mereka menaiki kuda dan menuju istana.

Mayat-mayat sudah tidak ada lagi di bekas medan peperangan. Tubuh-tubuh mati itu diambil kembali ke dalam gerbang untuk pulang. Mereka dikuburkan secara penuh kehormatan dalam satu lubang yang besar, kemudian diberi tanda sebagai pahlawan. Para orang tua, istri, dan anak meraung. Mereka menangisi nasib yang menimpa anggota keluarganya yang meninggal. Meski begitu, tak jarang yang merasa bangga bahwa anggota keluarga mereka ikut andil dalam perjuangan menciptakan sejarah. Hanya saja, sejarah apa yang akan tercipta, mereka masih belum yakin. Mungkin sejarah kemenangan bangsa manusia melawan kezaliman, atau malah kehancuran manusia.

Jasad para makhluk yang mati ditumpuk begitu saja di depan gerbang, lalu dibakar.

Ratu Sofia dengan bahu dibebat kain menyampaikan dukanya yang mendalam bagi mereka yang ditinggalkan. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada para prajuritnya yang berjuang. Ia memberitahukan kegentingan yang melanda mereka, dan memberi mereka pilihan untuk tetap bersama Negeri Haust atau pergi meninggalkannya dan berusaha hidup sendirian di tengah kekacauan. Tak ada pilihan yang menyenangkan, mengingat betapa besar risiko dari kedua pilihan tersebut. Namun, ada satu pilihan gila yang diutarakan sang ratu, yaitu tetap berdiri melawan sampai pada titik penghabisan.

“Pada minggu ke-tiga, mereka akan datang lagi. Jika kalian ingin melawan, tetaplah bersamaku di sini. Namun, jika tidak, maka pergilah. Aku memberi kebebasan kepada kalian.”

Sebagian orang memilih pergi ke sanak saudara mereka yang berada di negeri lain. Sebagian memilih pasrah dan hidup seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada yang memilih berdiri di sisi sang ratu.

Kembali ke istana, Ratu Sofia kehilangan semangatnya. Ia terduduk di balairung dengan lesu. Barrant yang ingin menghadap ditolaknya mentah-mentah. Ia mengurung dirinya di sana.

Sementara itu, kuda Fjola memasuki istana yang lenggang. Tak ada penjagaan. Para prajurit yang tersisa tampak murung, bersandar atau duduk-duduk di dekat bayang-bayang api yang menari-nari. Suasana suram jelas terpampang dalam istana itu.

Setelah turun dari kuda, Fannar dan Fjola masuk ke istana. Tak ada siapa pun yang menyambut. Kesunyian tampak di mana-mana. Bahkan, tempat biasanya pelayan bekerja pun kini tak tampak siapa pun orang di sana.

Setelah masuk ke lorong istana, Fjola dan Fannar bertemu dengan Zoe. Gadis itu berdiri di belakang langkan jendela yang tinggi, memandang ke luar dengan muram. Ia menoleh ketika Fannar mendekat.

“Kita kalah,” katanya singkat.

Fjola memandangnya dengan heran. Kalau memang kalah, ke mana Malakora? Kenapa dia tidak menguasai istana? Ke mana para makhluknya berada? Alih-alih yang keluar dari mulutnya adala, “Di mana Sofia?”

Zoe mengedikkan bahunya sekilas. “Mengurung diri di balairung. Dia terluka.”

Fjola memandang sekeliling dengan waspada, mencari-cari makhluk yang seharusnya menguasai kerajaan itu. Namun, ia tak menemukannya.

Seolah mengerti apa yang dipikirkan Fjola, Zoe menjelaskan, “Peri jahat itu memberi waktu kepada kami untuk membuat takluk seluruh bangsa manusia tiga minggu lagi. Kalau tidak, dia akan menghancurkan semuanya satu per satu dan dimulai dari negeri ini.”

“A-apa?” Kengerian tampak di mata Fjola. Tentu saja kesombongan Malakora akan melakukan hal itu. Itu berarti menguntungkan jika mereka mampu memanfaatkannya. Namun, itu juga merugikan jika mereka mengacaukannya. “Tiga minggu tidaklah cukup untuk menghimpun kekuatan lagi.” Badannya mendadak lemas.

Fannar menjadi tidak sabar. “Kalau begitu, kenapa diam saja? Kenapa tak ada yang bergerak?”

Zoe menatap Fannar seolah pemuda itu tak tahu apa yang diucapkannya. “Bergerak bagaimana? Kita kalah. Kita hancur. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menerima kekalahan.”

Fannar mendecih. Ia berdiri dengan tangan di pinggang. Keningnya berkerut. Ia memikirkan sebuah pilihan lain kecuali kalah. Akan tetai setelah sekian waktu berpikir, tetap saja ia tak menemukannya. Ia lantas mengerang. “Sialan!”

Fjola sama putus asanya dengan sang adik. Ia menunduk, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tak lama kemudian seseorang memanggil namanya. Barrant yang menyerah ingin bertemu Sofia menghampiri Fjola, lalu memeluknya penuh rindu.

“Syukurlah kau baik-baik saja.”

Untuk sejenak, Fjola telah lupa akan pangeran itu.

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang