Bab 47

70 13 1
                                    

Barrant kebingungan ketika bangun. Ia mencari Fjola ke kamarnya, tetapi kosong. Di ruang makan pun tak ada. Di dapur apa lagi. Mungkin, gadis itu tengah jalan-jalan. Jadi, Barrant keluar istana, berkeliling halaman. Akan tetapi  hasilnya sama saja. Fjola menghilang.

Barrant teringat dulu, ketika Fjola diculik. Ia menjadi cemas. Namun, ini bukan Negeri Veggur dan tak ada orang yang ingin menyakiti Fjola, bukan? Margaret tidak mungkin berani menculik Fjola lagi ke sini. Kalau begitu, apa yang terjadi kepada gadis itu?

Barrant kembali ke istana. Matanya menjelajahi lorong-lorong. Mungkin, gadis itu tidak menghilang, melainkan pergi. Pergi ke mana? Apakah kembali ke rumahnya? Tidak mungkin.

Kemarin, dia sudah berjanji akan menemani Barrant, walau belum bisa menyerahkan seluruh hati kepadanya. Ia ingat saat gadis itu mengantarkannya ke kamar untuk istirahat kemarin dulu.

Sebelum masuk, ia mencium punggung tangan Fjola sebagai ungkapan perasaannya, tetapi gadis itu menolak.

“Aku belum siap,” katanya.

Barrant pun mengalah. “Aku sabar menunggu, asalkan kau tidak pergi jauh dariku.”

Fjola tampak mendesah. Ia berbalik lalu pamit.

“Kumohon, Fjola.”

“Akan kucoba,” janjinya yang membuat pangeran itu tersenyum.

Mengingat malam itu, Barrant yakin Fjola tak akan meninggalkannya. Jadi, ke mana gadis itu pergi sepagi ini?

Saat kembali ke istana, ia bertemu Sofia di salah satu lorong. Wanita itu tengah membuat para pelayan kepayahan dengan perintah-perintahnya yang mendesak. Sementara tangannya menenteng sesuatu yang berat. Barrant bertanya keberadaan Fjola, tetapi wanita itu malah berkata, “Fjola sudah dewasa, tidak perlu kaurisaukan keberadaannya. Lebih baik kau bersiap-siap sekarang karena kita akan berangkat sebentar lagi.”

Barrant mendecakkan lidah. Ia ke kamar Fannar, kali saja adiknya tahu keberadaan sang kakak. Alih-alih, remaja itu juga tak ada di kamarnya. Dengan curiga, ia lantas ke kamar Arnor yang juga kosong. Saat kembali ke lorong istana, ia bertemu dengan Ishak dan bertanya keberadaan ketiga orang yang menghilang pagi-pagi buta tersebut.

Dengan mulut melengkung ke bawah dan kedikkan bahu sekilas, lelaki nyentrik itu menjawab, “Mungkin sedang melepas panggilan alam.”

“Panggilan alam?” kening Barrant mengernyit.

Ishak memutar bola matanya. Ia menguncupkan kelima jemarinya, kemudian mengarahkannya ke belakang bokong, mendorong ke bawah hingga jemarinya menjauhi satu sama lain.

Sudut bibit Barrant berkedut aneh. “Bersama-sama?”

Dengan acuh tak acuh Ishak menjawab, “Mungkin.” Ia lantas meninggalkan pangeran itu yang melongo.

Barrant masih menatap punggung Ishak yang menjauh beberapa saat lamanya hingga panggilan Briet melepaskannya dari perangkap syok.
“Apa yang Anda lakukan di sini? Kenapa mematung seperti itu? Apakan Anda baik-baik saja?” tanya gadis itu khawatir. Sudah sejak dulu Briet menyimpan perasaannya kepada pangeran itu. Ia kecewa karena tidak jadi pergi ke Negeri Veggur dulu untuk menjadi permaisuri dan malah menyuruh Fjola menggantikannya. Seandainya dia yang berangkat, mungkin sekarang, gadis itulah yang dikhawatirkan oleh sang pangeran. Namun sepertinya tidak. Ia tak akan sanggup menjalani apa yang telah menimpa Fjola. Mungkin, ia tak akan hidup sampai saat ini.

“Apa kau melihat Fjola?” tanya Barrant.

Briet menggeleng dengan sedih. “Tidak. Tapi, Anda ditunggu oleh kakakku di depan istana. Kuda-kuda sudah siap.”

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang