Bab 43

71 15 2
                                    

  Tak ada yang dapat membuat Sofia keluar dari balairung yang terkunci selain Arnor. Begitu sang peri mengetuk pintu san mengumumkan kedatangannya, wanita itu membuka kunci. Mereka bercakap beberapa lama di dalam balairung lalu keluar. Sofia tampak tergesa-gesa pergi ke ruang kerjanya, kemudian menutup pintu lagi, tak.mau diganggu.

Fjola yang baru saja kembali ke istana itu melihat Arnor yang keluar setelah Sofia. Mereka berpandangan sekilas, kemudian Fjola beranjak ke kamarnya, membersihkan diri dan tak keluar kamar lagi.

Fannar mengetuk pintu kamarnya sesaat setelah gadis itu masuk, tetapi Fjola tak ingin diganggu sekarang. Jadi, ia meminta adiknya itu datang besok lagi saja.

Keesokan harinya, Fjola masih tak ingin keluar kamar. Mendadak saja tubuhnya terasa letih luar biasa. Ia tak ingin melakukan apa-apa. Bahkan, makan pun tidak. Ia melewatkan pengumuman yang dibuat Sofia di alun-alun negerinya untuk meminta rakyat untuk bertarung sekali lagi melawan Malakora. Ia bahkan memohon. Ia akan mengundang ke-tiga raja negeri bangsa manusia untuk bergabung dalam serangan final mereka. Ia berharap laki-laki, baik yang muda, maupun yang tua untuk berani menentang kezaliman demi anak-anak yang yang sudah lahir maupun yang masih dalam kadungan.
Dalam pidatonya itu, tak ada orang yang merespons ajakan sang ratu.

Mereka bersembunyi di rumah-rumah mereka yang nyaman, dan diam-diam mengintip. Putus asa, Sofia turun dari tempatnya berkoar-koar. Mendung menggantung di langit kala ia turun, sesuai dengan suasana hati negerinya yang kelabu.

Arnor yang bersamanya menyemangati wanita itu untuk mencoba sekali lagi, namun bukan dengan pidato panjang seperti yang dilakukan tadi. Ia mengajak Sofia mengetuk satu per satu rumah rakyatnya, meminta mereka bergabung dalam perang.

Banyak tanggapan yang harus ditelan oleh wanita itu. Seperti contohnya, ada beberapa keluarga yang jelas-jelas menyembunyikan anak laki-lakinya dan berkata bahwa semua anggota keluarga mereka adalah wanita. Padahal, jelas-jelas dalam lukisan keluarga yang tergantung di tengah ruangan terdapat empat anak laki-laki yang tampak sehat. Ada juga yang terangan-terangan menolak mengirim anak mereka untuk berperang, dan memilih pergi ke negeri lain.

“Di negeri lain pun, raja-raja itu juga akan melakukan hal yang sama denganku,” kata Sofia. “Aku sudah meminta para raja datang kemari untuk membahasnya.”

“Tapi, belum tentu raja dari Vor ikut berperang,” kilah mereka.

“Kalau tidak ikut, itu artinya negera mereka siap untuk dijadikan budak.” Arnor menambahi. “Jadi, kurasa mereka tak memiliki pilihan lain selain melawan.”

“Jadi budak pun kurasa tak masalah. Kami telah hidup sehari-hari menjadi budak para bangsawan.”

Akhirnya Sofia mendesah. “Jika kau berubah pikiran, datanglah ke istana besok.”

“Kami tidak akan berubah pikiran.”

Sofia dan Arnor pun pamit. Pada hari berikutnya, Sofia pergi menemui keluarga-keluarga itu bersama Pangeran Barrant. Dengan bersama pangeran itu, mungkin hati rakyat sedikit memiliki harapan. Mereka pergi dari pagi hingga petang. Namun, ketika mereka kembali, tak ada satu pun pemuda yang datang ke istana untuk bergabung. Malahan, makin banyak saja prajurit yang absen.
Sofia benar-benar putus asa dibuatnya.

“Kita sudah habis,” ujarnya duduk dengan letih di salah satu ruangan yang dulu sering digunakan ayahnya untuk bersantai. Ia duduk di kursi panjang dengan ukiran dan berbantal empuk sebagai alas. Briet ada di sana, menggenggam tangan kakaknya, mencoba menguatkan. Fjola yang sudah selama hampir dua hari mengunci diri di kamar akhirnya keluar juga. Ia duduk di samping Sofia satunya.

Fannar dan Zoe yang duduk di salah satu kursi, sedikit lebih jauh dari sang ratu. Arnor mengamati keadaan di luar yang gelap dan hujan dari jendela. Tubuhnya yang tinggi tampak seperti menara dengan tangan ditekuk, memeluk tubuhnya sendiri. Rambutnya yang panjang tergerai di belakang, sebagian terjalin dan terkait di belakang telinganya yang runcing. Jika bukan dalam suasana putus asa, peri itu tampak bak malaikat milik orang-orang suci.

Fjola yang hanya melihat punggungnya merasa efek kehadiran peri itu mampu meredam aura kegelapan. Sungguh ajaib.

Barrant juga ada di sana, duduk di kursi tunggal di sebelah Fjola. Kursinya menghadap kaki sang gadis jika diselonjorkan. Ia duduk dengan punggung tegak, seolah memperlihatkan kepada siapa pun yang ada di sana bahwa ia memiliki adab ningrat. Rambutnya yang merah kecokelatan ia sisir dengan rapi ke belakang. Pakaiannya licin. Ia mengenakan sepatu bot dengan kaus kaki sampai ke dengkul.

“Mereka tak akan datang,” tambah ratu itu pesimis.

“Masih ada waktu,” Arnor menenangkan. Ia masih menatap kegelapan di luar. Meski begitu, matanya tarpaut pada bayangan Fjola yang terpantul pada kaca jendela. Ia menelusuri lecet di kulit gadis itu yang sudah memudar, juga memar yang perlahan hilang. Gaun yang dipakainya pun tak ada yang sobek.

“Benar, Sof, aku yakin setelah para raja datang, dan mencapai kesepakatan, kita akan memiliki mereka.” Fjola menimpali.

“Kuharap, mereka akan datang memenuhi panggilan.” Barrant ikut bersuara. “Sudah tidak banyak waktu.”

“Kaupikir, siapa yang membuat kekacauan ini?” Sofia masih memendam amarahnya kepada pangeran itu. “Jika kau tidak bertindak gegabah dengan menyerukan penyerangan terhadap prajuritku, kita tak akan mengalami situasi ini.”

“Sudahlah, Sof.” Briet mengeratkan genggaman tangannya.

“Kau benar.” Tak seperti biasanya, Barrant menunduk malu. Ia mengakui kesalahannya. “Aku benar-benar bodoh. Maafkan aku, Sofia.”

Sudah dua hari Barrant merenung. Selama ini, ia menyangka dirinya lebih baik dari sang ayah. Ia tak pernah berperilaku kejam, tak pernah tidak menghargai seorang pun. Ia selalu bersikap rendah hati. Bahkan, dengan prajurit pun ia bersikap santun. Ia tak ragu hidup bersama mereka, berbagi tempat tindur yang sama, merasakan kehidupan yang sama. Selama ini ia pikir hal itu merupakan tindakan yang patut dipuji.

Namun, setelah dipikir kembali, ia salah. Bagaimana pun, ia adalah pangeran. Ia lebih tinggi dari prajurit. Dengan hidup bersama para prajurit, mereka jutru merasa diawasi begitu ketat oleh Barrant, merasa terus-terusan dipelototi, dikoreksi saat tidak sesuai. Jika ia seorang prajurit, ia akan sebal seandainya sang pangeran merecoki kinerjanya. Ia yang awalnya bertugas menjaga keamanan gerbang, misalnya, menjadi tambah repot ketika harus memastikan keamanan sang pangeran juga, ditambah harus melayani kebutuhan pangeran itu.
Barrant baru sadar sekarang. Selama ini ia menjadi anak yang egois.

Awalnya, ia menyalahkan ayahnya atas perilakunya itu, dan Aguste. Mengapa mereka tidak memberitahunya kalau dia menyebalkan? Mengapa mereka membiarkannya saja berbuat sesuka hati? Namun kemudian, ia sadar bahwa bukan merekalah yang salah. Barrant sendirilah yang salah. Sudah berulang kali ayahnya memperingatkan bahwa tempatnya bukan bersama mereka, melainkan memimpin mereka. Berulang kali pula Aguste memintanya untuk menuruti sang ayah. Namun, apa yang dilakukannya? Malah menentang mereka.

Barrant kini menyesal. Ia juga sangat menyesal karena perilakunya yang gegabah ketika melihat Fjola ditawan. Saat itu, ia pikir hanya refleks ingin menyelamatkan Fjola. Namun, setelah dipikir kembali, ada rasa puas ketika menggerakkan para prajurit ke medan perang. Dan, kepuasan itu akibat dendam karena Malakora membunuh ayahnya.

Ia menyerukan perang kepada prajurit yang bukan miliknya, yang hidup dan matinya bukan disumpahkan untuknya demi keinginan pribadi. Ia benar-benar merasa bersalah sekarang. Ia tak lebih baik dari ayahnya. Jika ayahnya membunuh setidaknya 3 gadis setiap tahun, Barrant lebih parah. Ia membubuh ribuan orang dalam beberapa menit saja. Darah telah melumuri tangannya yang dianggap membawa kebaikan. Tangannya yang mengulurkan gandum-gandum ke masrakat miskin tak terlihat sekarang, tertutup oleh banyaknya nyawa-nyawa yang terenggut olehnya.

Perihal Fjola pun ia menyesal. Ia begitu menggebu menginginkan gadis itu sampai-sampai tega ingin merenggut kesuciannya. Setelah seharian berpikir, ia akhirnya tahu bahwa obsesi dan cinta hanya terpisah sangat tipis.

***

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang